Suasana dingin malam menyelimuti perbukitan ketika mobil yang dikendarai Raka, Hana, Yusuf, dan Pak Rahman mendekati sebuah perkampungan terpencil. Lampu-lampu dari pondok-pondok kecil di kejauhan tampak seperti kunang-kunang yang berkumpul di tengah kegelapan. Jalan yang mereka lalui semakin menanjak dan sempit, diapit oleh hutan-hutan pinus yang menjulang tinggi, seolah menutupi perkampungan dari dunia luar.
"Ini tempatnya," kata Pak Rahman seraya menunjuk sebuah pondok kecil di ujung jalan berbatu. "Rekan saya tinggal di sini."
Hana, yang duduk di samping Raka di kursi depan, mengerutkan dahi. "Apakah dia benar-benar bisa membantu kita?" tanyanya, suaranya penuh kecemasan.
Pak Rahman mengangguk yakin. "Dia salah satu yang terkuat. Kami dulu sering bekerja bersama untuk menghadapi kasus-kasus seperti ini."
Setelah memarkir mobil di depan pondok, mereka semua turun. Pondok itu terbuat dari kayu sederhana, namun terlihat kokoh. Pintu depannya terbuka dengan suara berderit, dan mereka disambut oleh seorang pria tua berambut putih dengan wajah penuh keriput. Senyum ramahnya menenangkan hati mereka yang penuh ketegangan.
"Selamat datang, Rahman," sapa pria itu dengan suara rendah namun tegas. "Dan siapa teman-temanmu ini?"
Pak Rahman memperkenalkan Raka, Hana, dan Yusuf. "Mereka datang untuk meminta bantuanmu, Pak Hardi. Kami sedang menghadapi sesuatu yang sangat kuat. Arwah bernama Anton telah merasuki tubuh seorang wanita muda dan menghancurkan kehidupannya."
Pak Hardi memandangi mereka dengan tatapan tajam, seakan-akan bisa melihat lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan. "Silakan masuk. Kita bicara di dalam."
Di dalam pondok, suasana hangat dan tenang, sangat kontras dengan kekacauan yang sedang mereka hadapi. Mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil, Pak Hardi mulai membuat teh herbal. Sesekali, ia menatap ke arah Hana, yang jelas-jelas membawa beban besar dalam hatinya.
"Apa rencanamu untuk menghadapi arwah ini?" tanya Pak Hardi sambil menuang teh.
Raka, yang duduk di sebelah Hana, menjawab tegas, "Kita tidak punya pilihan lain selain mengusir Anton dari tubuh Vivi. Dia sudah menghancurkan terlalu banyak kehidupan, termasuk tunangan saya, Hana."
Hana meremas tangannya, mencoba menahan emosi yang mulai naik. "Aku ingin mengakhiri semua ini," bisiknya, nyaris tak terdengar. "Aku siap melakukan apa pun."
Pak Hardi menatap Hana sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Kita akan bekerja sama. Tapi sebelum itu, kalian butuh istirahat. Besok pagi, kita mulai persiapannya."
Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk menginap di pondok Pak Hardi. Angin dingin berhembus dari celah-celah jendela kayu, namun suasana di dalam tetap tenang. Meskipun begitu, pikiran mereka semua tertuju pada hal yang sama: Vivi, atau lebih tepatnya Anton, yang harus segera dihentikan.
---
Semenjak Anton sepenuhnya menguasai tubuh Vivi dan seluruh harta keluarganya, dia mulai membangun kerajaan bisnis dunia gelapnya. Diskotik, kasino, dan tempat prostitusi yang sebelumnya hanya wacana kini telah menjadi kenyataan di bawah kendalinya. Setiap sudut bisnisnya dipenuhi dengan kejahatan, kemewahan, dan kebrutalan—menghidupkan kembali dunia kelam yang Anton pernah kuasai semasa hidupnya.
Sementara itu, di kediaman Vivi, suasana benar-benar berbeda. Rumah mewah yang dulu terawat kini tampak seperti sarang kekacauan. Coretan-coretan tak senonoh memenuhi dinding, perabotan berantakan, dan lantai penuh dengan botol-botol minuman keras serta pakaian yang berserakan.
Di kediaman Vivi, suasana yang dulu penuh kemewahan dan keanggunan kini berubah drastis. Ruang tamu yang sebelumnya dihiasi dengan perabot mahal kini berantakan. Sofa kulit yang dulunya bersih kini compang-camping dengan bekas sobekan di sana-sini. Meja kayu jati yang biasanya mengkilap sekarang dipenuhi dengan botol-botol minuman keras kosong dan puntung rokok. Karpet tebal yang dulunya berwarna krem elegan kini penuh dengan noda-noda tumpahan minuman dan abu rokok.
Dinding-dinding rumah yang dulu dipenuhi lukisan indah kini penuh dengan coretan kasar, kata-kata kotor dan simbol-simbol tak senonoh menghiasi setiap sudut. Beberapa coretan bahkan tampak seperti ancaman kekerasan, mencerminkan suasana yang keras dan liar yang kini mendominasi rumah tersebut. Lampu-lampu gantung kristal yang biasanya bersinar terang kini berkelap-kelip samar, memberikan kesan suram yang menambah keangkeran rumah itu.
Di kamar utama, situasinya lebih parah. Kamar yang dulunya rapi dan teratur kini berubah menjadi tempat yang kacau dan tak terurus. Seprai mewah berserakan di lantai, bercampur dengan pakaian dalam dan sepatu-sepatu hak tinggi yang bertebaran di berbagai sudut. Cermin besar di dinding terlihat pecah di beberapa bagian, dengan lipstik merah menorehkan kalimat-kalimat vulgar di permukaannya.
Di tengah kekacauan itu, Vivi, atau lebih tepatnya Anton yang bersemayam dalam tubuhnya, duduk di atas sofa kulit berwarna merah tua. Tubuhnya telanjang, hanya diselimuti oleh bayangan lampu remang-remang yang berkelip-kelip. Di sebelahnya, seorang wanita penghibur yang bekerja di kasino miliknya tengah berbaring, memanjakan tubuh Vivi dengan penuh gairah. Wanita itu berambut pirang, tubuhnya ramping, mengenakan lingerie tipis yang sekarang sudah berantakan di lantai, menambah kesan liar dan tak terkendali.
Vivi, atau Anton dalam tubuhnya, memimpin permainan itu dengan dominasi penuh. Dia menikmati setiap sentuhan, setiap desahan dari wanita di bawahnya. Wajahnya yang dulu lembut kini berubah menjadi ekspresi penuh kenikmatan dan kekuasaan, seperti seorang penguasa yang meraih kembali tahtanya. Matanya yang penuh dengan tatapan tajam memperlihatkan keinginan yang tak terpuaskan, mencerminkan nafsu Anton yang dulu begitu mendominasi setiap wanita dalam hidupnya.
Wanita itu mulai menjilati leher dan dada Vivi, tangannya bergerak bebas di sepanjang tubuhnya. Vivi membalas dengan ciuman ganas di setiap lekuk tubuh wanita itu, meninggalkan jejak merah seolah ingin menegaskan siapa yang berkuasa di situ. Anton, melalui tubuh Vivi, merasakan sensasi yang aneh namun mengasyikkan—seolah-olah ia menemukan kembali bentuk kenikmatan baru dalam tubuh wanita yang ia kuasai ini.
Setelah beberapa saat, mereka melanjutkan ke tahap berikutnya, dengan Anton yang kini sepenuhnya mengendalikan tubuh Vivi, mengambil alih permainan. Sensasi kekuasaan, dominasi, dan kebebasan yang dirasakannya sangat berbeda dari yang pernah ia rasakan ketika masih hidup. Tubuh Vivi, yang dulu polos dan anggun, kini menjadi alat permainan bagi arwah Anton yang terjebak di dalamnya.
Namun, kesenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon yang memecah keheningan malam. Dengan malas, Vivi mengangkat telepon sambil tetap dalam keadaan setengah telanjang. Di ujung telepon, suara Arya, orang kepercayaannya, terdengar panik.
"Vivi... ada masalah besar," suaranya terdengar bergetar.
"Apa sekarang?" tanya Vivi dengan nada jengkel.
"Budi Lim... dia kabur. Kami sudah mencarinya, tapi dia menghilang. Kami kehilangan jejaknya."
Dada Vivi mendidih mendengar kabar itu. "APA?!" bentaknya marah. "Lo biarin dia kabur?! Apa kalian semua otaknya udah hilang?"
Arya mencoba menjelaskan, suaranya semakin gugup. "Kami sedang mencarinya sekarang, Vivi. Tapi ini bukan hal yang mudah."
Vivi langsung bangkit dari sofa, mendorong gadis disebelahnya dengan kasar ke lantai. "Gue mau lo temuin dia SEKARANG! Kalau nggak, lo bakal lihat apa yang terjadi sama orang yang berani ngecewain gue!"
Hingga telepon terputus, Vivi masih berusaha menenangkan amarahnya. Anton di dalam tubuhnya merasa panas. Budi Lim, Papi yang sudah ia kendalikan selama ini, tidak boleh kabur. Apalagi, dia masih memegang rahasia besar yang bisa menghancurkan semuanya.
Sambil mengumpulkan pakaiannya, Vivi berpikir cepat. "Kalau mereka nggak bisa ngatasin ini, gue harus turun tangan sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Cabul
SpiritualBrengsek...! gara-gara mengejar wanita ini, aku jadi mengalami kecelakaan hingga dinyatakan tewas ditempat..! untung saja keberuntungan berada di pihak ku, entah kenapa aku masih diberikan kesempatan untuk bisa merasakan hidup sekali lagi, dan yang...