ᴠɪɪ. stay

36 5 0
                                    


𖤛𖤛𖤛

Tolong menetap. Kata itulah yang ingin Joe ucapkan kepada Raksa, tetapi permintaannya kalah tinggi dengan egonya.

Jujur saja, Joe juga ingin akrab dengan Raksa sebagaimana Esa dekat dengan Rasa. Tapi rasa tidak percaya lebih menguasai diri Joe sehingga membuat Joe selalu menatap ragu Raksa. Terlebih itu, sifat tempramental milik Ayah yang diturunkan ke Joe membuat Joe setiap hari membalas ucapan Raksa dengan tak bisa santai. Niatnya Raksa ingin bergurau dengan adiknya, tetapi Joe selalu menanggapinya serius.

Malam ini, Joe kembali dilanda rasa bimbang yang besar. Badannya gemetar, air matanya berlomba-lomba turun. Joe menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya saling bertaut satu sama lain.

"Just stay, Raka. Jangan ke mana-mana," lirih Joe terengah-engah.

Detik itu juga, bumi langsung diguyur hujan deras disertai guntur besar. Joe berteriak kesetanan bersamaan bunyi guntur tersebut. Badannya seolah dipukul berkali-kali untuk mundur, tidak boleh melangkah lebih jauh lagi ke depan.

"Tetap di sini, Raka. Jangan pergi ...." gumam Joe tersengguk keras.

"Tuhan .... cara bersyukur apa lagi yang harus Joe lakuin?" Joe memejamkan mata dengan suara pasrah.

Hancur. Keluarganya gila. Keluarganya psikopat. Joe bingung, ini arahnya ke mana? Tidak adakah seseorang yang ingin memimpin jalannya? Atau mungkin sekadar mengisi ruang kosong miliknya?

"Jessalyn, mentalku dirusak ...." kata Joe disela isakan tangisnya yang menyakitkan.

"Mereka bikin aku percaya kalau hidup itu nggak ada artinya," adunya pada kekosongan di kamarnya.

"Bunga persahabatan kita yang kamu janjiin mana, Lyn? Aku masih nunggu .... walaupun aku tahu kalau bunga itu nggak akan sampai." Awalnya Joe terkekeh miris akan perkataannya, tapi lama-kelamaan berganti dengan tangis lagi.

Joe tidak rela sahabat baiknya pergi dan meninggalkan ruang kosong miliknya. Joe terlalu takut jika memang tidak ada orang yang ingin menetap dengannya, mengisi ruang kosong miliknya.

𖤛𖤛𖤛

"Ngapain tadi malem teriak-teriak? Ganggu banget tahu, nggak?" Bunda menarik rambut Joe dan berkata sinis.

Joe meringis pelan, berusaha melepaskan tangan Bunda di rambutnya. Tetapi bukannya melepaskan tangannya, Bunda semakin kuat menjambak rambut putrinya.

"Kamu kira yang tinggal di rumah ini kamu doang? Ada Bunda, Ayah, Ano, sama Raksa. Tadi malem Ayah sama Bunda tuh capek, tapi kamu teriak-teriak bikin sakit kuping aja. Kenapa sih? Masih takut guntur? Cemen kamu tuh, lebay." Dengan ringan, jemari telunjuk Bunda menoyor kening Joe keras setelah melepas jambakannya.

"Kalau gila tuh ya gila aja, nggak usah pakai teriak-teriak segala. Caper ya, kamu? Nanti-nanti, kamu Bunda ungsiin ke rumah sakit jiwa aja. Di rumah ganggu banget kamu." Bibir Bunda terus menyerocos tanpa henti.

Batin Joe terluka itu karena Ayah-Bundanya, mengapa mereka tidak sadar diri?

Joe menghirup nafas dalam-dalam dan memundurkan langkahnya perlahan. "Gila jangan teriak gila, Bunda," ucapnya.

Bunda melotot kaget dan mendekat ke arah putrinya. Joe yang melihat Bundanya mendekat langsung berlari kencang keluar rumah. Bunda menghentikan langkahnya dan mendengus sebal.

Ruang Kosong [Choi Hyunsuk x Kawai Ruka]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang