xxɪɪ. game

24 6 2
                                    


𖤛𖤛𖤛

Gerimis mengguyur pagi hari ini. Baru saja Joe berhasil menginjakkan kakinya di tanah, sepatu hitam kusamnya langsung diguyur oleh genangan air hingga membuat Joe berdecak malas. Tangannya cepat-cepat menarik tudung jaketnya untuk menutupi kepalanya yang ditimpa rintikan air dari langit.

Pukul 06.00 pagi, Joe sudah berada di halte bis. Dua menit kemudian bis itu datang dan membawa Joe ke mari, ke SMA Bhakti Darma milik Opanya.

Mau tidak mau akhirnya Joe berlari cepat karena tidak membawa payung lipatnya yang ada di rumah dan tidak ia bawa ke apartemen. Genangan air di aspal yang tidak rata muncrat ke mana-mana sebab pijakan kaki Joe yang berlari.

Musim hujan memang semenyebalkan itu bagi Joe. Selain karena sebagian dari traumanya, musim hujan juga tidak begitu Joe sukai karena membuatnya kepayahan saat harus terguyur air dan basah kuyup.

"Males banget sama bulan Desember, apalagi sama salju Indo kayak gini." Sampai di koridor yang masih sepi, Joe menggerutu dan mengetuk sepatunya yang terasa basah.

"Nih." Seseorang menyodorkan sandal selop berwarna hijau kepadanya.

Kepala Joe menengok. Setengah heran saat mendapati presensi Harta yang muncul tiba-tiba di belakangnya.

"Sepatu lo basah, pakai ini aja dulu," suruh Harta masih menenteng sandal itu karena tidak kunjung diambil oleh Joe.

"Kak, nanti dimarahin, anjir. Hari ini gue ada pelajarannya Bu Oliv," balas Joe setengah tertawa takut.

"Gue bilangin. Gue juga ada mapelnya Bu Oliv jam pertama sama jam kedua," kata Harta memaksa.

Akhirnya Joe meraih sandal itu dan melepas sepatunya. Kini, kaki Joe beralaskan sandal hijau yang dibawa oleh Harta. Gadis itu menenteng sepatu hitam usangnya dengan kerjapan mata menatap Harta.

"Sini, gue bawain." Tanpa menunggu respon Joe, Harta merebut sepatu gadis itu. Joe speechless dibuatnya. Lelaki ini .... terlalu hijau hingga menyilaukan mata.

"Sumpah ya, Kak. Lo nggak usah kayak gitu, ntar orang-orang ngiranya gue ada apa-apa sama lo," ucap Joe hendak mengambil kembali sepatunya namun dicegah oleh Harta.

"Kan emang," jawab Harta enteng.

"Kak!" Joe mendelik sebal, sedangkan Harta tertawa puas.

Keduanya lantas berjalan beriringan di koridor yang terlihat lumayan kotor oleh jejak sepatu. Hening melingkupi Harta dan Joe.

"Bayarannya nanti malem temenin gue video call study." Harta menyerahkan sobekan kertas kepada Joe yang diterima dengan mengernyit.

"Nanti malem?" beo Joe bingung.

Harta mengangguk. "Iya. Terserah lo luangnya kapan, penting itu bayarannya. Video call sama gue."

Joe mengangguk patah-patah sembari memandangi barisan nomor yang ditulis di sobekan kertas yang ia bawa. Itu nomor Harta.

Harta tersenyum tipis melihatnya. Tak sengaja matanya menangkap ukiran berwarna perak di sol sepatu Joe, membuat ia harus menyipitkan mata untuk membacanya.

Brecht. Itulah yang Harta baca dari ukiran latin itu. Raut wajah Harta berubah datar setelah membacanya.

"Cahaya itu sebagian dari bencana, Kak. Kegelapan nggak semenakutkan itu, kok. Justru bagi gue kegelapan itu menyenangkan," celetuk Joe tersenyum riang.

"Joheera ...." Tatapan Harta ke Joe tidak bisa dimaknai dengan mudah. Pandangan lekatnya bisa dijabarkan dalam beribu arti.

𖤛𖤛𖤛

Ruang Kosong [Choi Hyunsuk x Kawai Ruka]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang