xɪɪ. "kakak malaikat, ya?"

35 6 0
                                    


𖤛𖤛𖤛

Joe memegangi kepalanya yang berdenyut ngilu. Pagi-pagi sekali seluruh tubuhnya terasa panas. Sebelumnya, rasa pusingnya memang tidak ada. Namun denyutan di kepalanya langsung muncul begitu Ano membuatnya emosi bukan kepalang di hari yang masih fajar. Bahkan matahari pun belum muncul ke permukaan.

Dengan hati yang dongkol, Joe menampar adik angkatnya dan menoyornya keras. Ia sangat malas berhadapan dengan Ano yang kelewat hiperaktif dan nakal. Rasanya Joe ingin memotong setiap bagian tubuhnya agar tidak berisik apalagi sampai menghampirinya di kamar tanpa ketuk pintu ataupun lainnya. Sangat tidak sopan, menurutnya.

Sehabis mencuci muka apa adanya, Joe menyambar jaket varsity-nya yang tergantung dan kunci motornya di nakas. Kakinya ia bawa melangkah keluar kamar dan menuruni tangga. Berusaha tidak mengacuhkan Ano yang menangis dan mengadu kepada Bunda. Joe tetap pada pendiriannya, yaitu pergi dari rumah di pagi buta seperti ini.

Membolos bukan hal yang begitu buruk, kan? Joe lebih dulu dikuasai oleh malas untuk memulai hari ini. Mengabaikan teriakan Bunda, Joe langsung tancap gas menguasai jalanan yang lenggang dan masih terlihat sepi. Udara pagi sangat dingin sebab bekas tengah malam tadi diguyur hujan.

Tak tanggung-tanggung, Joe bablas ke pantai terdekat dari kawasan rumahnya. Sunrise terpampang indah, membuat Joe berdecak kagum. Badan kecilnya ia bawa mendekat ke pinggir pantai, membiarkan sepasang kakinya yang terpasang sepatu ventela tersapu oleh air ombak.

"Jessalyn, when I see the sea, I also see you. Miss you and .... miss your red roses," monolog Joe mengukir senyum tipis. Netranya memandang jauh ke tengah laut sana seakan menanti keajaiban tiba.

"I'm alone. I'm scared ...." gumam Joe memeluk tubuhnya sendiri. Rambutnya berterbangan sebab terserang angin kecang.

𖤛𖤛𖤛

"Ru, lo milih diem atau gue tepang?" Sepasang mata serigala Janu melirik tajam sahabatnya yang asik geal-geol di sebelahnya, sesekali menyenggol kegiatan damainya.

Haru menyengir. "Ngapunten, Nu. Iseng doang gue mah. Jangan marah," katanya yang dibalas sinis oleh Janu.

Sat-set, Janu meraih kacamata yang ia letakkan di saku dada dan memakainya. Netranya meneliti buku di depannya—buku milik si jakung sebelahnya. Kernyitannya bertambah dalam seiring matanya yang semakin menyipit memandangi buku Haru.

"Sumpah ya, Ru. Otak lo tuh dibuat dari tanah kaplingan atau gimana sih? Remidi semua nih jawaban lo. Nol besar!" tutur Janu berdecak gemas dan menggelengkan kepalanya.

"Gue nggak suka mapelnya. Ralat, gurunya," jawab Haru datar, acuh tak acuh.

"Yeuuuu, gue sambit juga lo lama-lama." Tangan Janu terangkat main-main. Haru terkekeh.

"Heh, Lalapoo! Aksel ke mana? Kok nggak kelihatan? Biasanya pagi-pagi udah duduk anteng di bangku." Haru bertanya kepada Starla yang menguap lebar. Gadis dengan rambut wolf cut itu melirik Haru dengan lirikan tajamnya.

"Mana gue tahu," jawab Starla mengedikkan bahu.

"Curiga banget kalau tuh anak kumat jiwa premannya," gumam Haru menghembuskan nafas.

"Perasaan baru sehari dia balik ke Buttercup Curse, tapi kelakuan ngelunjaknya langsung muncul ke permukaan," ujar Janu asik mencoret-coret buku tulis Haru.

"Nanti juga ngabarin kalau butuh," sahut Haru tak ingin memperpanjang.

𖤛𖤛𖤛

Dentuman kencang suara musik memenuhi ruang apartemen nomor 306. Di dalamnya, ada Joe yang goleran di kasur dengan tubuh menggelepar tengkurap seperti ikan-ikan di Bikini Bottom. Paras ayunya terlihat seperti orang menanggung beban berat. Meyedihkan.

Ruang Kosong [Choi Hyunsuk x Kawai Ruka]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang