ɪ. born to be alone

108 9 0
                                    


𖤛𖤛𖤛

Semua pasang mata menatap ke arahnya. Berbagai macam tatapan ia dapatkan beserta arti tatapannya. Ada yang menatapnya takut, ada yang menatapnya angkuh, ada yang menatapnya mencela, dan ada yang menatapnya datar. Dari setiap ekspresinya, Joe sudah tahu apa isi hati dari orang-orang disekitarnya. Mimik wajah mereka terlalu mudah ditebak olehnya.

"Heh! Lo yang di sana! Minggir!"

Kedua netra sipit Joe mengerjap polos dan menatap ke kanan dan kirinya, lalu ia menunjuk dirinya sendiri. "A .... ku?" gumamnya pelan.

"Iya! Lo dungu apa tolol sih?! Udah tahu lo doang yang ada di tengah koridor!" Perempuan dengan blazer bertuliskan OSIS kembali menyentaknya sembari menyeret tas besar yang terlihat berat.

Joe menyingkir dan menatap lurus pada perempuan anggota OSIS itu. Tatapan mata Joe sangat tajam meskipun hanya menatap biasa, percayalah.

"Gitu kek daritadi, ck! Ganggu gue aja! Nggak tahu aja kalau gue lagi bawa barang berat!" Rungu Joe dapat mendengar dumelan perempuan yang melewatinya itu. Sempat, perempuan tersebut melempar pandangan sinis pada Joe sekali yang dibalas lirikan tajam oleh Joe.

"Anak-anak OSIS di swasta emang gitu, lo jangan heran ya. Kalau bisa, lo dibawa santai aja. Emang tajem-tajem banget mulutnya." Salah seorang gadis yang berada tak jauh dari Joe menyeletuk untuk memberitahu Joe.

Joe mengangguk sekali, tak ingin berpikir panjang. Gadis dengan kuncir dua itu kembali berjalan lurus untuk menuju ke kelasnya yang masih lumayan jauh.

"Orang-orang yang punya pangkat emang gitu, suka sesukanya sendiri tanpa mikirin perasaan orang lain. Coba aja kalau mereka yang Joe hujat, pasti mereka marah-marah. Dasar manusia-manusia sok berkuasa," monolog Joe yang sebenarnya bermaksud sarkas. Tetapi nada suaranya yang terdengar polos dan lembut sama sekali tak mendukung ucapan kasarnya.

"Lingkungan orang bebas menyeramkan, makanya Joe takut. Daripada gini, mending kemarin Joe nggak sekolah aja." Lagi, suaranya sangat lembut sekali.

"Tua bangka itu yang maksa Joe buat sekolah di swasta, padahal Joe nggak suka. Joe nggak bisa masuk sekolah negeri karena mereka, tapi mereka nyalahin Joe." Kali ini, nadanya datar, namun raut wajahnya dibuat nelangsa karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Heh! Gila ya lo?! Ngomong-ngomong sendiri kayak punya indra ke-enam!" Seseorang menyenggol pundak Joe, nyaris membuatnya tersungkur.

Secara reflek, Joe mengarahkan tatapan dinginnya kepada orang yang sengaja menabraknya dan mengatainya. Dengan gerak cepat, orang yang mencercanya langsung kabur karena merinding melihat tatapannya.

"Lihat? Mereka jahat. Mereka nggak layak masuk ke ruang punya Joe. Joe nggak butuh sampah kayak mereka."

Dengan bibir yang mencebik kesal, Joe memasuki kelas dan melemparkannya tasnya ke bangku, lalu ia taruh kepalanya di antara lipatan tangannya di meja.

Malam tadi cukup menguras semua tenaga Joe. Terlebih lagi guntur sialan yang sangat-sangat menakuti dirinya. Pagi ini, biarkan Joe tidur dengan tenang walaupun pada akhirnya sebuah spidol hitam melayang padanya dan Joe melemparkan tatapan tak sukanya pada guru pengajarnya.

𖤛𖤛𖤛

"Joe, Bunda sama Ayah mau ke rumah Nenek dulu. Kamu nggak apa-apa kan kalau jaga rumah?"

Suara halus menyapa indra pendengaran Joe yang baru saja turun dari lantai atas, bahkan ia masih berada di tengah-tengah tangga.

"Emang Raka ke mana?" tanya Joe mengernyit.

"Raka lagi pergi sama temennya. Bunda nggak tahu kapan pulangnya," sahut seorang wanita yang sudah berpakaian rapi.

Ruang Kosong [Choi Hyunsuk x Kawai Ruka]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang