Dua Puluh Tiga

967 296 65
                                    

Sebagian ini Giri hanya termenung di dalam ruangannya. Pikirannya melayang pada wanita yang pagi ini menyiapkan sarapan buatnya. Meski hanya secangkir kopi dan setangkup roti bakar.

Winda sebenarnya membuat nasi goreng untuk sarapan pagi. Tapi Giri yang tidak biasa makan berat ketika sarapan, hanya mengambil setangkup roti. Winda sebenarnya menawarkan untuk membuatkan Giri telur rebus. Tapi lagi- lagi lelaki itu menolaknya.

Lelaki itu memang sengaja untuk bangun pagi demi bisa melihat Winda beraktifitas. Selama beberapa hari dirinya memang sudah mencari tahu, pukul berapa istrinya itu keluar dari kamar.

Jadi, begitu mendengar azan subuh berkumandang, Giri segera bangun. Walau matanya masih lengket karena dia baru bisa tidur pukul satu dini hari. Sudah sejak lama lelaki itu terjangkit insomnia akut.

Setelah bangun, lelaki itu menyeret langkahnya ke kamar mandi untuk sikat gigi dan menunaikan sederet panggilan biologisnya. Ia hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana pendek kain selutut ketika menengok Winda di dapur. Wanita itu bergerak lincah. Bergantian antara membuat kopi dan merajang bumbu-bumbu untuk nasi gorengnya.

Melihat wanita itu berada di dapurnya, membuat hati Giri entah mengapa jadi menghangat. Rasanya begitu domestik. Meski pernah menikah, dulu Giri tidak pernah melihat pemandangan seorang wanita yang sibuk di dapurnya. Jadi tentu saja hal ini baru baginya.

Telepon di mejanya berdering. Sejenak Giri hanya memandangi benda tersebut tanpa berniat untuk mengangkatnya. Ia melirik jam yang bertengger di atas meja. Pukul dua belas siang lewat. Mungkin Nindi yang menelepon, menanyakan menu makan siang Giri.

Sebenarnya, Giri bosan dengan menu makanan yang disiapkan orang dapur Kembang Lawang buatnya. Atau makan di luar. Dia sudah terlalu sering keluar masuk restoran. Baik yang dipinggir jalan, di dalam pusat perbelanjaan ataupun di hotel- hotel.

Sesekali, dirinya ingin merasakan masakan rumah. Tapi untuk meminta Winda menyiapkan makan siang buatnya rasanya terlalu mendadak. Jadi dia merogoh ke dalam saku kemeja. Dikeluarkannya ponsel dan menekan sederetan nomor.

Pada dering kelima, barulah panggilan itu dijawab. Alis Giri mencuat. Mengapa butuh waktu cukup lama untuk Winda mengangkat telepon darinya?

"Iya, Mas. Halo. Assalamualaikum. Maaf, saya telat ngangkatnya. Ini lagi di jalan."

"Hmmm," sahut Giri begitu saja. Datar. Tanpa intonasi. "Saya ingin makan malam di rumah nanti."

"Begitu? Mas mau dimasakin apa?"

"Terserah kamu saja. Saya bisa makan apa saja. Asal jangan terlalu pedas."

"Mas Giri ada punya alergi nggak?"

"Nggak ada."

Kemudian panggilan diputus begitu saja. Dalam hati, Giri masih penasaran. Hari ini Winda pergi ke mana saja. Hanya saja lelaki itu terlalu gengsi untuk bertanya.

Telepon di atas mejanya kembali berdering nyaring.

***

Di parkiran sebuah mini market 24 jam, Winda terpekur memandangi layar ponselnya yang sudah menggelap. Dirinya masih takjub dengan apa yang baru saja terjadi.

Giri meneleponnya. Lelaki itu bahkan mengatakan ingin makan di rumah. Ia meminta Winda untuk memasak. Apakah ini berarti sebuah kemajuan dalam hubungan mereka yang sebelum ini sepertinya tidak jelas arahnnya itu?

Sejak pernikahan itu direncanakan oleh Kemala, Winda tidak berharap banyak. Memang tidak ada cinta di antara dirinya dan Giri. Jadi wajar bila Winda tidak pernah berekspektasi pada hubungan yang dibangun tanpa fondasi seperti sebagaimana seharusnya rumah tangga dimulai.

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang