Chapter 3

3.4K 219 10
                                    

CERITA INI HANYA UNTUK DINIKMATI
DON'T COPY MY STORY!!

Jangan lupa tekan vote dan berikan dukungan komentar kalian 🙆🏻‍♀️❤️

ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢

Kata-kata itu menghantam Ainsley seperti badai yang menghantam pantai. 'Istri' kata itu bergema di kepalanya, membangkitkan semua kenangan pahit yang sudah berusaha ia kubur dalam-dalam. Tangannya bergetar di bawah genggaman Galen, bukan karena takut, tapi karena amarah yang membara dalam dadanya.

"Jangan berani-berani memanggilku istrimu," suaranya tajam, setiap kata keluar seperti pisau yang dilemparkan dengan presisi sempurna. "Kau kehilangan hak itu sejak lama."

Mata Galen berkilat, tapi ia tidak melepaskan Ainsley. "Aku tidak pernah kehilangan hakku. Kita mungkin berpisah selama 3 tahun, namun dihadapan tuhan maupun hukum, kau masih istriku."

Ainsley tertawa dingin, tawa yang tidak mengandung kebahagiaan. "Jangan mengada-ada, Galen. Semua sudah berakhir di hari itu. Tidak ada yang tersisa di antara kita, bahkan sehelai benang pun."

Namun, Galen tidak melepaskan. Sebaliknya, genggamannya justru mengencang. "Kau masih milikku, Ainsley. Apa pun yang kau katakan, apa pun yang kau pikirkan, itu tidak akan mengubah kenyataan."

Ainsley menatapnya dengan tajam, seolah ingin menusuk Galen dengan tatapan matanya yang penuh dendam dan luka. "Jika aku memang milikmu," bisiknya pelan namun tegas. "Kenapa rasanya seperti aku adalah tawanan dalam penjara yang kau ciptakan?"

Untuk sesaat, keheningan jatuh di antara mereka, begitu tegang dan padat. Tapi, Galen hanya tersenyum tipis, senyum yang membuat darah Ainsley mendidih.

"Dari awal kau menikahiku, bukan karena cinta," kata Ainsley dengan nada tegas, meskipun matanya memerah menahan amarah dan luka yang telah lama mengendap.

"Kau tidak pernah benar-benar menginginkan aku. Kau hanya menginginkan pelarian dari rasa sakitmu, dari kebencianmu. Selama aku menjadi istrimu, kau selalu menuntut hakmu sebagai suami, tapi tak pernah sekalipun kau memberikan hakku sebagai seorang istri."

Ia melangkah lebih dekat, kini jarak di antara mereka begitu tipis, hampir tidak ada ruang untuk bernapas. Ainsley mendongak, menatap mata Galen yang menunduk menatapnya. Mata itu penuh dengan diam, tetapi Ainsley bisa melihat semua yang tersirat: kesombongan, penyesalan, dan amarah yang menari di balik kedalaman cokelatnya.

"Kau tahu kenapa aku tidak menceraikanmu, Galen?" Suara Ainsley bergetar, meski senyum miring menghiasi wajahnya. "Bukan karena aku masih mencintaimu. Bukan karena aku tidak bisa meninggalkanmu. Satu-satunya alasan aku bertahan adalah karena ayahmu, August Barnaby. Satu-satunya orang yang memperlakukan aku dengan hormat dan kasih sayang sejak awal. Aku menghargainya, bukan kau."

Galen terdiam, rahangnya mengeras. Kelopak matanya tampak memerah, dan matanya berkilat dengan emosi yang terpendam. Namun, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya tatapan itu, tatapan yang selama ini tak pernah memberinya apa pun selain rasa hampa.

"Apa kau benar-benar berpikir aku memaafkanmu?" tanya Ainsley, suaranya hampir berbisik namun penuh dengan kepahitan yang terpendam. "Kau pikir hanya karena aku tidak meninggalkanmu, hanya karena aku membiarkanmu berada di sekitarku, aku sudah memaafkanmu? Tidak, Galen. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Ainsley berhenti sejenak, mengambil napas dalam sebelum lanjut berbicara. Kali ini, suaranya lebih keras, lebih penuh emosi yang selama ini ia pendam dalam-dalam. "Persetan dengan rasa sakit hatimu di masa lalu, tapi hatiku... hatiku jauh lebih hancur. Kau bukan hanya menghancurkan hidupku, Galen. Kau menghancurkan dua kehidupan sekaligus."

Matanya berkilau oleh air mata yang kini tak bisa lagi ia tahan, namun suaranya tetap kuat, tegas. "Kau menghancurkan hidup istrimu... dan kau menghancurkan hidup anak kita yang tak pernah sempat melihat dunia!"

Galen membuka mulutnya, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi Ainsley mengangkat tangannya, menghentikan pria itu sebelum kata-kata kosong bisa keluar.

"Tidak ada yang bisa kau katakan, Galen. Tidak ada penjelasan, tidak ada permintaan maaf yang cukup untuk menyembuhkan apa yang kau rusak."

Dan di detik itu, Ainsley merasa segalanya berubah. Bukan karena Galen, tetapi karena dirinya sendiri. Ia akhirnya menyadari bahwa ia tidak lagi terikat pada masa lalu yang kelam ini, bahwa ia berhak untuk bebas dari beban yang ditimbulkan oleh pria yang pernah ia cintai sepenuh hati.

Kini, ia berdiri sebagai seseorang yang lebih kuat, bukan karena memaafkan, tetapi karena memilih untuk melangkah maju tanpa lagi menoleh ke belakang.

ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢

"Ainsley!"

Langkah Ainsley terhenti sejenak saat mendengar suara Wild Corner. Pria itu melangkah cepat menghampirinya, senyum khasnya terlukis di wajah, seperti biasanya.

"Selamat sore, Mr. Corner," sapa Ainsley, suaranya lembut namun tegas.

Wild, duda tampan berusia 35 tahun dengan sorot mata biru yang hangat, mengangguk sambil tersenyum.

"Sepupuku baru saja membuka restoran pizza baru. Kebetulan letaknya searah dengan tempat tinggalmu. Aku akan datang untuk pertama kalinya, bagaimana kalau kau ikut bersamaku?"

Ainsley tersenyum tipis, menahan rasa jengah yang mulai muncul. Ia sudah terlalu sering mendengar alasan-alasan seperti ini dari Wild.

"Terima kasih, tapi aku punya beberapa urusan lain. Mungkin lain kali." Ainsley melangkah anggun melewati Wild, menyusuri lorong sekolah dengan elegansi yang menawan.

Tapi, apakah Wild menyerah? Tentu tidak. Selama satu tahun penuh ia telah mengejar Ainsley tanpa sedikit pun tanda menyerah. Pria itu sama keras kepalanya dengan Galen.

"Setidaknya sekali saja," ucap Wild, nada suaranya hampir memohon. "Aku yang akan membayarnya, tenang saja. Kalau kau mau bawa pulang beberapa porsi pun, aku tidak masalah. Aku akan menghabiskan seluruh uangku untukmu."

Ainsley berhenti, menggeleng pelan. "Simpan uangmu, Wild. Aku bisa membeli pizzaku sendiri."

Wild mendesah frustasi, wanita ini memang sulit dipahami. Namun, itulah yang membuatnya semakin terpikat. Ia membenarkan letak kacamatanya sebelum dengan cepat melangkah ke depan, menghalangi jalan Ainsley tepat di dekat gerbang sekolah. Tubuh tinggi dan tegapnya berdiri menghadang, mencoba menarik perhatian wanita itu sekali lagi.

"Setidaknya sekali, Miss Lysander," pinta Wild, suaranya lebih lembut namun penuh harap. Mata birunya yang jernih seolah mencoba membaca pikiran Ainsley, mencari celah di antara dinding-dinding yang selama ini wanita itu bangun.

Ainsley menarik napas panjang, bersiap untuk menjawab, sebelum ketika suara deru mesin mobil mewah terdengar di belakang mereka. Sebuah Ferrari merah meluncur perlahan dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Kaca hitam mobil itu turun, menampilkan wajah tegas dan dingin dari Galen Barnaby. Kacamata hitamnya bertengger di hidung, menambah aura otoritas yang ia pancarkan.

"Mrs. Barnaby," suara Galen serak namun tegas. "Ayo, aku antar pulang."

Ainsley terdiam, dadanya terasa sesak seketika. Ia teringat percakapannya dengan Galen tadi pagi, percakapan dengan kata-kata yang tajam dan penuh luka. Ia menatap Wild yang kini tampak kebingungan, matanya bergantian memandang antara Ainsley dan Galen.

Dan dalam sekejap, Ainsley membuat keputusan yang mengejutkan. Tanpa ragu, ia meraih tangan Wild dan menariknya menjauh. "Ayo, aku ingin pizza nanas."

Wild terperangah, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, namun ia mengikuti Ainsley tanpa pertanyaan. Sementara Galen, ia hanya bisa menatap kosong, diam dalam keterkejutannya.

Istrinya, wanita yang selama ini ia sakiti, kini dengan terang-terangan memilih pria lain di hadapannya. Hatinya berdenyut nyeri, tetapi ia tahu, luka di hati Ainsley jauh lebih dalam.

ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢

Lose Or Get You
[16 Oktober 2024]
-
-

Judul chapter ini adalah: Ainsley dan segala unek-uneknya. Haha

LOSE OR GET YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang