Keheningan Senja

2 1 0
                                    

Bab 11: Keputusan yang Menyakitkan

Di puncak senja yang berkilauan, taman istana keluarga Darren menjadi saksi dari pertemuan yang amat dinantikan antara Nazeera dan Nyonya Seraphina. Gemerlap cahaya golden hour merayapi setiap sudut, menciptakan aura magis seolah-olah waktu sendiri menahan nafasnya untuk mendengar setiap kata yang akan terucap.

Nyonya Seraphina duduk dengan anggun di kursi batu marmer yang melingkupi kolam air mancur. Gaun sutra merah rubi menyapu tanah, menyatu dengan warna senja yang memantul di wajahnya yang anggun. Nazeera, dengan gaun berwarna biru langit yang melambangkan keberanian dan keteguhan hati, menghampiri dengan langkah gemulai. Setiap langkahnya terdengar seperti bisikan lembut angin yang membelai rerumputan di sekitar mereka.

"Tante," ucap Nazeera dengan lembut namun penuh keyakinan. "Terima kasih telah mengizinkan saya untuk bertemu dengan Anda. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting."

Nyonya Seraphina menatap dengan tajam, matanya seperti jendela ke dalam jiwa Nazeera yang penuh dengan keraguan dan keinginan. Suara gemerisik dedaunan dan tetesan air dari air mancur menjadi latar belakang alamiah, menyatu dengan irama perasaan yang tak terucapkan.

"Katakanlah, Nazeera," pinta Nyonya Seraphina dengan suara lembut namun penuh otoritas. "Apa yang ingin kamu sampaikan?"

Nazeera menarik napas dalam-dalam, merasakan getaran emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Dia menceritakan betapa Darren telah menjadi cahaya dan kekuatan dalam hidupnya, bagaimana mereka saling melengkapi dan saling mendukung. Dia menggambarkan mimpi-mimpi mereka bersama, masa depan yang mereka bayangkan dengan penuh harapan.

Namun, Nyonya Seraphina hanya terdiam. Ekspresi wajahnya berubah menjadi serius, mencerminkan pemikiran mendalam yang mempertimbangkan segala hal yang pernah terjadi dan yang akan datang. Angin sepoi-sepoi malam mulai menggema, memberi nuansa dramatis yang semakin menguatkan suasana.

Di perpustakaan istana, Darren duduk bersimpuh di hadapan Ayah Zenith. Buku-buku tua bertumpuk di sekitarnya, menghiasi ruangan dengan aroma klasik yang tak terlupakan. Ayah Zenith, dengan janggut abu-abu yang lebat, menatap Darren dengan pandangan tajam yang menembus setiap lapisan pikirannya.

"Yah," ucap Darren dengan suara tegas namun penuh kerendahan hati. "Darren menghargai segala yang ayah lakukan untuk kita sekeluarga. Namun, Nazeera adalah cinta sejati Darren. Dia adalah jiwa yang membuat hidup Darren berarti."

Pria baruh baya mendengarkan dengan serius, menanggapi setiap kata Darren dengan pertimbangan yang mendalam. Suara halus gemerisik halaman buku yang dibuka perlahan oleh jemari Ayah Zenith menyatu dengan aura keheningan yang memenuhi ruangan, menciptakan suasana khidmat yang tak tergantikan.

"Dia adalah wanita yang penuh dengan kebaikan dan keberanian," lanjut Darren, matanya memancarkan kepercayaan dan tekad. "Darren tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia."

Ayah Zenith mengangguk perlahan, mengisyaratkan bahwa dia memahami perasaan Darren, meskipun tidak sepenuhnya setuju. Kedua belah pihak saling merenung dalam keheningan, merasakan beban dari segala sudut pandang yang berbeda.

Di dekat kolam air mancur setelah pertemuan intens antara Nazeera dan Nyonya Seraphina, gadis berambut sebahu sedikit ikal masuk ke dalam dengan hati yang penuh dengan berbagai emosi yang masih berkecamuk di dalamnya. Langit senja masih terasa hangat di kulitnya saat ia melangkah perlahan menuju ruang studi tempat Luna, adik Darren, tengah sibuk dengan tugas kuliahnya.

Pada puncak senja yang memancarkan cahaya emas di taman istana keluarga Darren, Nazeera melangkah dengan hati-hati menuju ruang studi tempat adik Darren, Luna, sibuk dengan tugas kuliahnya. Dengan rambut pirang platinum yang terurai panjang, matanya fokus pada layar laptop di depannya, menunjukkan kecermatannya dalam belajar.

Rintik Kesedihan Dipelukan Hujan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang