Bab 38 : Memori dan Dukungan dalam Proses Penyembuhan
Di sebuah rumah yang tenang di pinggiran kota, terdapat sebuah ruang kerja yang menjadi tempat ayah Nazeera, Theron, sering menghabiskan waktunya. Suasana ruangan itu selalu penuh dengan aroma buku tua dan sentuhan kehangatan yang ditinggalkan oleh kehadiran Theron, seorang pria yang penuh dedikasi terhadap pekerjaannya.
Hari itu, suasana di ruang kerja itu terasa berat. Theron, dengan wajah yang penuh pemikiran, duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam lautan pikiran yang tak kunjung surut. Beban pekerjaan yang menumpuk dan tanggung jawab yang berat sepertinya telah merasuk ke dalam setiap serat jiwanya.
"Ini tidak bisa terus seperti ini. Saya merasa terjebak dalam siklus yang tidak pernah berhenti. Setiap hari, tugas-tugas baru terus mengalir masuk, dan saya tidak tahu bagaimana mengatasinya," kata Theron dalam hati.
"Apakah pekerjaan ini benar-benar membawa makna? Apakah saya berkontribusi dengan cukup? Apakah ini sepadan dengan semua yang saya korbankan?" tanya Theron dalam hati.
Namun, tiba-tiba, sebuah serangan jantung menyerang Theron. Dia merasakan sakit yang menusuk-nusuk di dada, wajahnya pucat, dan napasnya terengah-engah membuatnya kehilangan napas dan terjatuh dari kursinya.
Nazeera, Zara, dan ibu mereka, Celestia, yang mendengar kegaduhan dari ruang kantor, berlari menuju sumber suara itu.
Nazeera dengan napas tersengal-sengal berkata, "Apa yang terjadi, Ibu? Kenapa ada suara ribut dari ruang kantor?"
Celestia dengan ekspresi khawatir menjawab, "Oh tidak, Suamiku! Dia mungkin dalam bahaya. Cepat, panggil bantuan medis!"
Di ruang kantor, ketegangan dan kepanikan menyelimuti atmosfer, terutama ketika dokter tiba untuk mengambil alih situasi.
Zara dengan raut wajah yang pucat bertanya, "Ibu, apa yang terjadi dengan Ayah?"
Celestia dengan suara yang gemetar menjawab, "Kita harus tetap tenang dan berharap yang terbaik, sayang. Dokter akan melakukan yang terbaik untuknya."
Dengan hati yang berdebar dan kekhawatiran yang mendalam, mereka berharap dan menunggu, sambil berdoa agar suaminya segera mendapatkan pertolongan yang diperlukan.
Dokter tiba dan segera memeriksa Theron dengan cermat, menyadari keadaan serius yang dihadapi pria itu.
"Kondisi Ayah Theron memerlukan perawatan segera di rumah sakit. Saya akan meminta bantuan tim medis untuk membawanya," ucap dokter itu dengan serius.
"Tolong, lakukan yang terbaik untuknya, dokter," ucap Celestia dengan mata yang berkaca-kaca.
Dokter kemudian memimpin tim medis untuk menyiapkan Theron untuk dibawa ke rumah sakit. Sementara Nazeera, Zara, dan Celestia duduk di dalam mobil ambulance dengan hati yang berat, mereka merenungkan masa depan yang tidak pasti, terjerat dalam aliran pikiran yang penuh kegelisahan dan kekhawatiran akan nasib Theron yang tak terduga.
Sampai di rumah sakit, ruang tunggu terasa seperti sebuah ruang yang menggigil dalam ketidakpastian. Detak jam di dinding seakan menjadi pengingat yang tak terdengar atas waktu yang berlalu, sementara hati mereka dipenuhi dengan rasa takut dan ketidakpastian.
Setelah berabad-abad yang terasa seperti selamanya, dokter akhirnya keluar dari ruang perawatan dengan berita yang menghancurkan. Wajahnya pucat, dan matanya mencerminkan kelelahan dan keputusasaan.
"Maafkan saya, tetapi usaha kami telah mencapai batasnya," ucap dokter dengan suara lembut. "Theron tidak bisa diselamatkan."
Celestia, yang sebelumnya menunggu dengan gelisah di luar ruangan, merasa dunianya runtuh. Matanya berkaca-kaca saat ia memasuki ruang perawatan. Theron, suaminya, terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dengan napas yang lemah. Wajahnya pucat, dan tangannya terkulai lemah di samping tubuhnya.
"Tidak...tidak mungkin," bisik Celestia, suaranya rapuh dan penuh dengan kehancuran. Ia meraih tangan Theron, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan. Namun, tak ada respons.
Nazeera dan Zara, anak perempuan Celestia, juga memasuki ruangan dengan wajah yang penuh kehampaan. Nazeera menangis dengan tersedu-sedu, memeluk erat tubuh ayahnya. "Tolong, ayah...jangan tinggalkan kami," desahnya, bulir-bulir air mata mengalir dengan deras tanpa henti.
Zara, yang selama ini mencoba tegar, kini terpukul dengan keras. Matanya berkaca-kaca saat ia mencoba menahan emosinya. "Ayah..." ucapnya dengan suara serak, mencoba merangkul kakaknya, Nazeera.
Mereka semua terdiam, terjebak dalam kehampaan yang menguasai ruangan. Suasana yang sebelumnya penuh dengan harapan, kini berubah menjadi gelap oleh kabar duka yang tak terduga.
Nazeera merangkak keluar dari ruang perawatan dengan mata yang berkaca-kaca dan hati yang hancur. Tangisnya tak terbendung saat ia menyerap kehampaan yang menguasai ruangan. Langkahnya gemetar saat ia mencari pijakan di koridor rumah sakit yang sepi.
Dalam keheningan yang menyakitkan, Nazeera merenung sejenak tentang kehilangan cinta pertamanya, ayahnya. Ia mengingat aroma antiseptik ruangan, suara mesin ventilator, dan sentuhan dingin lantai rumah sakit di telapak kakinya. Sudut pandangnya beralih dari orang ketiga menjadi orang pertama, dan ia merasakan denyut jantungnya yang berdebar.
"Darren," gumam Nazeera, mengambil ponselnya dengan gemetar. Nomor telepon Darren masih terpampang di layar. Ia menggenggam ponsel erat-erat, tekadnya menguat. Ia harus menghadapi kenyataan ini, meskipun hatinya hancur.
Dalam kegelapan koridor rumah sakit, Nazeera menekan tombol panggil. Suara dering ponsel terdengar, dan ia menunggu dengan napas terengah-engah. Darren akan mendengar kabar ini, dan hidup mereka akan berubah selamanya. Namun, di tengah kesedihan dan kehilangan, Nazeera tahu bahwa ia harus tetap kuat untuk saudara-saudaranya dan untuk dirinya sendiri. Kehidupan terus berputar, meskipun hati terasa hancur.
Nazeera duduk di bangku taman, pandangannya kosong, dan hatinya hancur. Dedaunan berguguran menambah kesan kesepian di udara yang sunyi. Ayahnya, sosok yang selalu memberikan kekuatan dan arahan, kini telah pergi. Nazeera merindukannya dengan segenap jiwa dan raganya.
Darren, sahabat setianya, tiba dengan langkah berat. Kehampaan terasa mengelilingi mereka, mengisi setiap sudut taman yang sunyi. Darren duduk di sebelah Nazeera, memahami bahwa kata-kata takkan mampu menghapus kesedihan yang menghantam hati sahabatnya.
"Kehilangan Ayahmu adalah pukulan berat," ucap Darren dengan suara lembut. "Sangat wajar jika kamu merasa hancur. Tapi ingatlah, aku di sini untukmu. Kita akan melewati masa-masa sulit ini bersama-sama."
Nazeera menangis di pundak Darren, membiarkan air matanya mengalir. Darren menciptakan tempat yang aman bagi segala derita yang menghantam Nazeera. Tangannya lembut meletakkan diri di atas kepala Nazeera, merasakan getaran kepedihan yang mengalir melalui setiap helai rambutnya.
"Terima kasih, Pak Darren," ucap Nazeera dengan suara terbata. "Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan tanpa Anda di sisi saya. Rasanya begitu sulit untuk bernapas..."
Darren menatap Nazeera dengan mantap. "Aku akan selalu mendengarkanmu, mendukungmu, dan membantumu bangkit kembali," katanya. "Kita akan melalui masa-masa sulit ini bersama-sama."
Nazeera mengangguk, harapan memenuhi matanya. "Aku akan menunggumu di taman rumah sakit," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Kesedihan Dipelukan Hujan [End]
General FictionRintik hujan membasahi tanah dengan irama yang hampir menyentuh hati. Di dalam pelukan hujan,Nazeera merasakan kebingungan dan kegelisahan yang mengalir dalam alur air yang turun dari langit. Tetapi di tengah rintik hujan yang mengalir, ada keindaha...