03. Ramalio Biantara

100 14 0
                                    

First impressionku soal cowok yang namanya Ramalio Biantara ini...... aneh.

Dari segi penampilan dia beneran kayak cowok yang medium level lah. Bajunya kayak baju biasa, nggak ada satu barangpun yang aku liat bermerk di dia. Ekspresi wajahnya halus tapi rahangnya lumayan tegas, alisnya melengkung dan itu jadi fitur yang memorable tentang wajahnya. Tingginya ... yaah, biasa sih, tipikal cowo- cowok pada umumnya. Nggak tinggi banget dan nggak pendek juga. Aromanya bau sabun anti septik yang biasa ada di warung-warung. Nggak maskulin kayak aroma Kevin tapi malah ngasih kesan seger dan a kind of 'bau cowok bersih' di indera penciumanku.

"Kianna Ishabelle." Kataku tanpa balas uluran tangannya. Dia senyum kikuk sambil pelan-pelan turunin tangannya.

"What a pretty name." No lie, his accent... kinda ... cool.

Ramalio gugup aku pandangi sebegitunya. Dia lepas kontak mata kita duluan dan nyeruput es Americanonya.

Mungkin karena dia tau aku belum mau bicara apa-apa, dia natap aku lagi, berusaha build self confidence kemudian membuka omongan lagi. Kali ini dia nggak banyak basa basi, mungkin dia udah berhasil baca aku orang yang kaya gimana.

"Jadi pertemuan kita hari ini... kamu udah tau kan alasan dan tujuannya, Ki?" Meskipun aku liat dia kayak udah percaya diri banget tadi nyiapin omongan, tapi tetep aja suaranya kedengeran malu-malu.

Aku ngangguk. "What do you think?"

Dia naikin salah satu alisnya. "Maksudnya?"

"About me, us and our future? Maksudnya is it work out for us?"

"Kita baru tatap muka sekitar delapan menit??" Entah, aku nggak paham itu seruan atau jawaban. Nadanya susah dipahami, tapi aku ngerti.

"First impression lo ke gue nggak yang buruk atau gimana gimana gitu emangnya?"

"Sejauh ini kamu agak ketus sih ke saya. Tapi wajar,"

"Wajar gimana?"

"Wajar bersikap kayak gitu ke orang yang baru kamu temui sehari."

"Nggak merasa bosen atau gimana gitu emang? Secara kan gue dari tadi banyak diemnya?"

"Ini udah mulai banyak ngomongnya?" Kata dia lagi yang aku nggak ngerti nada dia tuh kayak gimana. Kalau dari susunan kalimatnya jelas itu seruan, tapi nadanya seolah itu adalah pertanyaan. Anjir lah, efek nangisin Kevin sampe begadang kayaknya. Gini aja otakku lama banget mrosesnya.

"Kamu lagi ada pikiran, Ki?"

Dia nih jago banget baca raut wajah orang, kah? Dengan bohong, aku geleng kecil. "Nggak. Mau pesen sekarang aja nggak?"

"Boleh." Dia mulai buka-buka menunya. "Wow... harganya lumayan ya disini."

Ini murah buat aku dan reaksi dia sepertinitu? Mama nggak salah kah mau jodohin aku sama orang ini?

Dia buka seluruh halaman buku menunya buat lihatin satu persatu nama menu, gambarnya dan harganya. Lagi-lagi rautnya tampak kaget.

"Hari ini gue yang traktir aja gimana? Sebagai permintaan maaf karena dari tadi ketus mulu." Entah kenapa kalimat setelah kalimat tanya itu keluar gitu aja. Seolah aku takut nyakitin harga dirinya. Tapi dia senyum, rautnya masih seramah awal pertemuan kita tadi.

"Uang aku cukup kok, Ki. Kamu pilih aja yang kamu mau."

Ya Tuhan, gimana aku tega pesen kalau raut mukanya aja kayak gitu? Demi menjaga harga diri —dan tabungannya, aku menutup buku. Mencari alasan supaya dia aja yang pesen dan bisa nyesuain kemampuan keuangannya.

Sunshine. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang