Ramalio's POV.
—————————Meskipun nggak jauh-jauh amat dari Jakarta, tapi aku yakin suasana di sepanjang perjalanan pulang ke rumah Ibu adalah pemandangan yang asing bagi Kianna.
Kita berdua berangkat pukul 8 pagi setelah sarapan bubur ayam di tempat yang aku biasa beli buat sarapan. Kianna, meskipun orang kaya yang suka segala sesuatu yang mewah, ternyata selalu cocok sama makanan yang aku rekomendasiin. Dia makan buburnya lahap, bahkan tusukan jerohan dan cakuenya dia makan sampai habis. Kita makan di dalam mobil tadi—mobil Kianna, tentunya.
Nggak pernah sekalipun aku bayangin kalau aku bakalan makan bubur ayam Mang Ujang di dalam mobil Porsche Cayenne bareng perempuan secantik Kianna. Mobil ini warnanya hitam mengilap, jok kulitnya empuk banget sampai aku merasa kayak duduk di sofa mewah. Interiornya ada sentuhan kayu di beberapa bagian dashboard, bikin kesannya makin elegan. Udah gitu, tiap aku liat logo Porsche kecil di setirnya, aku ngerasa kayak lagi nyetir di adegan film, bukan di jalanan Kabupaten Bogor.
Jujur, aku bisa nyetir. Aku udah belajar sejak masih SMA, tapi nyetir Porsche yang harganya fantastis sampai aku yakin nggak akan pernah kesampaian beli mobil ini bikin aku agak tremor. Tombol-tombol di dalamnya juga bikin aku bingung. Ini mobil atau pesawat jet sih?
"Aku nyetirnya kasar nggak?" tanyaku, sambil melirik Kianna yang duduk di sebelahku dengan santai.
"Nggak kok, aman," jawabnya sambil menyesap air putih. "Aturin posisi duduk aku dong, kurang enak."
"Gimana caranya?"
"Itu ada tombol..."
Aku celingak-celinguk nyari tombol yang dia maksud di sekitar kursinya. Tapi, seriusan deh, ada terlalu banyak tombol di mobil ini. Di bagian samping pintunya aja ada deretan tombol buat ngatur posisi kursi, kaca, sampai sandaran kepala. Terus di konsol tengah ada tombol-tombol lain lagi, kayak buat AC, pemanas jok, sama mungkin buat hal-hal yang aku nggak pernah tau ada di mobil.
"Yang mana?" tanyaku sambil menunjuk asal-asalan.
"Di sebelah kiri jok aku," katanya sambil menunjuk ke arah yang nggak membantu sama sekali. "Yang ada kayak gambar kursi itu."
Aku minggirin mobil sebentar, majuin badan sedikit, dan coba liat lebih dekat. "Oh, ini ya?"
Kianna ketawa kecil. "Iya, itu. Nah, geser ke depan, coba pencetnya sambil liat aku."
Aku nurut. Pas tombolnya aku geser, kursinya maju perlahan dan klakson mobil mewah ini nggak sengaja tertekan sama sikuku. Gimana aku bisa nggak kaget coba kalau bibir dia kena bibirku pas aku majuin kursinya? Kianna tertawa terbahak-bahak. Aku masih kaget, tapi pemandangan didepanku cantik banget. Jantungku berdetak 4 kali lebih cepat. Aku buru-buru mengalihkan pandangan sebelum jantungku bener-bener meledak.
Aku jalanin mobil lagi. Kianna keliatan lebih nyaman sekarang, tapi disisi lain aku jadi makin ngerasa kayak sopir beneran. Kianna ketawa lagi, mungkin tampangku sekarang kelihatan bodoh banget di matanya.
"Gitu aja tegang. Santai aja, Ram. Aku nggak gigit kok."
Aku nggak jawab, cuma senyum kaku sambil fokus ngeliatin jalanan. Rasanya mobil ini beneran terlalu mewah buat aku, tapi anehnya, bareng Kianna semuanya jadi terasa biasa aja. Normal, bahkan. Seolah, ini cuma hari lain di hidup kami—padahal nggak.
"Kamu bawa banyak banget hadiah kayaknya di begasi?"
"Iya. Pasti Freya suka. Aku bawa hadiah yang nggak mungkin pernah dia beli."
Kianna mungkin sama sekali nggak berniat menghina keluarga kami, tapi, aku agak merasa ucapannya kurang nyaman didengar. Tapi gapapa, aku tau bukan itu maksudnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine.
FanfictionMenikahi perempuan kaya raya nggak pernah ada di wishlist Rama karena sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, tentunya dia ingin membahagiakan keluarga kecilnya dengan kemampuannya sendiri. Namun, bagaimana jika perempuan itu adalah Kianna? Model...