Rama jemput aku pakai mobil tipe mobil keluarga yang aku juga nggak tau ini punya siapa. Yang aku tau, dia pakai pakaian santai dan bawa banyak barang di bangku belakang.
Kita mau piknik di kebun beneran, nih? Apa dia pikir negara kita itu seindah Swiss? Heran kok bisa ada ide begitu. Yang ada kita habis digigitin nyamuk.
Dari awal aku sama sekali nggak bersemangat tentang perjalanan hari ini. Tapi aku nyoba ikut dan percaya sepenuhnya sama ide Rama.
"Kamu udah sarapan, Ki?"
"Udah. Tadi aku makan ubi rebus."
"Kamu suka banget ya sama ubi perasaan?"
"Emang. Tapi ngeselinnya susah belinya. Kenapa sih jarang ada tempat makan yang jualan semua olahan ubi dan tempatnya bagus gitu? Aku sama Navya sebagai pecinta ubi kesel karena kita cuman bisa makan dirumah."
"Ya kenapa nggak kamu buat sendiri aja tempatnya?"
"A place that mostly sell 'olahan ubi' gitu maksud kamu?"
Rama ngangguk. Ide itu bukin aku termenung sebentar. Tapi dengan cepat ide itu pergi gitu aja karena kebayang respon dari orang-orang disekitarku. "Nggak lah, buat apaan? Kalau mau buka tempat makan aku bisa bikin cafe kelasan starbucks atau restaurant bintang lima sekalian."
"Ya emang kenapa sih kalau mau buka tempat yang konsepnya sederhana dan hangat gitu aja? Kamu nggak tertarik atau 'it just not so Kianna?'"
My family will never allow me. Harusnya sekelasan aku itu bikinnya sesuatu yang berkelas. Atau bikin start up baru. Bukan malah punya rencana kaya apa yang dipikirin pedagang kaki lima.
Aku menyimpan jawaban itu dalam hati aja. Nggak aku ungkapin karena itu mungkin agak menyinggung. Tanpa berniat memperpanjang obrolan lagi, aku nyalain radio yang siarannya lagi ngasih update tentang kondisi lalu lintas dan cuaca hari ini.
🌨️
Keluar dari Jakarta, kabut tipis mulai mengganggu jarak pandang kita. Nggak lama kemudian, jalanan mulai basah karena gerimis. Aku yakin rencananya pasti gagal hari ini. Tapi anehnya Rama sama sekali nggak tergerak buat puter balik atau mengubah rencana.
Aku hembusin nafasku, kita masih di jalan raya sekarang. Aku nyenderin kepalaku ke sandaran kursi penumpang sambil ngeliatin air hujan yang terus netes di kaca mobil.
Pandangan diluar sana yang tadinya ngeblur tiba-tiba terautofokus karena sebuah billboard besar disisi jalan menarik perhatianku. Poster itu mencolok, bahkan saat orang-orang seharusnya memperjatikan hujan dan jalanan, poster itu mencolok. Poster dengan font tebal bertuliskan 'I'll love you again.' diikuti tanggal tayangnya—yaitu minggu depan, didominasi wajah Kevin dan Evelda Maharunika. Kevin di poster film itu beda dari Kevin yang aku kenal. Dia keliatan lebih dewasa, lebih profesional dan keren dengan apa yang lagi dia jalani. Meskipun udah temenan sama dia lama dan tau gimana latar belakang keluarganya, aku tetap bangga sekaligus nggak nyangka kalau wajahnya bisa ada dimana-mana seperti ini.
"Ram, minggu depan hari Rabu kamu kosong nggak?"
"Belum tau. Kenapa, Kian?"
"Aku mau ngajak kamu nonton filmnya Kevin. Aku pengen nonton di hari pertamanya tayang. Bisa nggak?"
"Aku usahain ya. Kalaupun hari itu aku sibuk kita bisa ambil jadwal paling malamnya."
Aku ngangguk sepakat. Rama nggak suka bohong. Jadi aku udah cukup tenang dan percaya kalau dia pasti bakalan nemenin aku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine.
FanfictionMenikahi perempuan kaya raya nggak pernah ada di wishlist Rama karena sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, tentunya dia ingin membahagiakan keluarga kecilnya dengan kemampuannya sendiri. Namun, bagaimana jika perempuan itu adalah Kianna? Model...