20. The Ring.

86 15 2
                                    

Mobilku melesat seakan jalanan di Jakarta ini diciptakan hanya buat aku lalui. Jam menunjukkan pukul 11 malam, besok juga masih weekdays, jadi aku beneran dibawa ngebut sama Rama.

Pesta ulang tahun belum selesai—mungkin, setelah Rama menyelesaikan tugasnya dan aku ikut acara potong kue Tanteku, Rama narik aku ke lift terdekat dan entah gimana tapi mobilku udah ada di loby. Kita tinggal naik.

Disisi lain, aku ngerasa agak takut kalau warna asli Rama kelihatan malam ini. Dia nggak setenang biasanya, aku baru liat sisinya yang kayak gini. Meskipun logikaku seolah ngingetin aku kalau dia mungkin aja emang bener ngincer aku demi uang atau posisi di Nusafood, hatiku masih agak enggan buat percaya. Damn, am i really into him? Kayak... beneran gua secinta itu? Bukan karena baper baper ala remaja karena diperlakukan kayak princess?

Kita udah sampai apartemenku. Rama ngasih isyarat pertanyaan dimana aku kehilangan cincinku tanpa ngucapin satu kalimatpun. Aku yang entah gimana paham nganterin dia ke kamarku dan nunjuk ke arah kolong tempat tidurku.

Rama gulung lengan kemejanya sampai siku, gila tangannya ternyata sesempurna itu. Jari-jarinya, otot-otot di lengannya, gila, aku sampai gagal fokus liat sesuatu sesexy itu.

Dengan kekuatan penuh Rama dorong tempat tidurku, dia jongkok— kemudian berposisi kayak orang yang mau sujud dengan kepala miring ke arah kegelapan di bawah tempat tidur. Dia nyalain senter Hpnya dan mulai memindai dimana benda berkilau itu kemungkinan sembunyi. Setelah dapet, Rama ambil benda panjang terdekat—remot TV yang ada di nakasku buat meraih cincin itu. Dia ambil cincinnya. Kemudian berdiri.

Tatapan matanya seolah dudukin aku ke ranjangku. Aku inget tatapan ini persis kaya tatapan sewaktu Papaku mau marahin aku pas aku masih SD dulu.

Aku nelan seliva, tatapan mataku tetep aku paksain tajam supaya Rama nggak mikir aku terintimidasi.

Rama megang cincinnya pakai jari telunjuk dan jempolnya. Mengarahkan lubang cincinnya ke wajahku sambil nutup salah satu matanya. Wajahku pasti kelihatan bodoh banget dari cincin itu.

"Mana cincinnya." Kataku yang udah mulai nggak nyaman sama keheningan ini.

Bukannya ngasih ke aku, Rama malah masukin cincinnya ke saku kemejanya. Dia nggak bilang apa-apa, cuman memalingkan muka diikuti langkah kaki. Dia pergi dari kamarku. Sialan... apa harus sesombong itu?

"Cincin ini udah bukan punya kamu."

"Emang boleh kalo abis ngasih diminta lagi?"

"Bolehlah. Toh nanti kamu juga bakalan dapat cincin baru yang lebih mahal."

"Dari siapa???"

"Cowok tadi???"

Aku menghela napas kesal.

"Dia tuh—"

"Kamu malu ngakuin aku? Belum terlambat juga, Ki. Aku nggak bisa dijadiin pilihan. Aku emang sayang kamu. Tapi kalau kamu malu sama aku, buat apa? Aku nggak akan pernah bisa dibandingin sama yang tadi. Selamanya nggak mungkin aku bisa banggain kamu lebih dari cowok tadi."

"Gue ga malu, Ram. Kan tadi udah gue kenalin juga ke dia kalo lu tunangan gue."

"Kalau dari awal dikenalin, harusnya dia nggak bakalan ajak kamu berduaan. Dia bahkan manggil kamu 'lady.'"

"Oke-oke, gue salah soal itu. Tapi gue beneran bukan malu. Dia nggak tanya."

"Dan nggak akan kamu jelasin kalau tadi dia manggil pelayan dan pelayannya bukan aku kan?"

"Lo jangan kebanyakan mikir deh. Jadi gimana? Cincinnya mau lu ambil lagi? Oke deh. Bawa."

Raut Rama yang tadinya kesal sekarang berubah jadi kecewa dan sedih. Matanya berbinar kayak anak anjing ilang dijalanan. Kenapa tadi pake nantangin sih kalau nyatanya gak mau kehilangan aku?

"Kamu tuh harus banget dibujuk juga ya?" Aku akhirnya menurunkan egoku, aku jalan ke arahnya dan puk-puk punggungnya. "Maaf ya Rama sayang, tadi itu aku beneran nggak mau bicara apa-apa dulu. We never know kita bakalan menikah atau nggak, kan? Privacy is number one di keluarga kita. Maaf ya kalau mungkin kamu belum terbiasa. Selain itu aku beneran nggak malu. Cincinnya kan beneran jatuh, kamu tadi yang ambilin. Aku nggak berniat nggak bawa cincinnya."

Rama makin kaya bocah setelah diajak bicara pakai nada lembut. Dia duduk di sofa sambil nunduk. "Maaf, Kian, kalau aku tadi kayak anak-anak. Aku cemburu banget kamu deket sama yang lebih keren dari aku. Aku takut dukungan dari keluargamu buat pilih dia bikin kamu nggak mau aku lagi. Aku beneran suka kamu. Bukan karena apa-apa. Bila perlu aku nggak apa-apa nggak kerja di Nusafood dan cari kerjaan lagi."

"Udah udah gak usah gitu, aku percaya sama kamu kok. Besok free nggak?"

"Kenapa emangnya?"

"Kita makan malam bareng keluarga buat bahas nikahan kita."

"Kenapa jadi kayak kamu cowoknya, Ki?" Rama ketawa. Aku ketawa juga.

Malam ini kita berakhir deeptalk sambil cuddle di sofa sampai ketiduran.

🌥️

Percakapan kedua keluarga kita dilaksanakan di sebuah restaurant yang ada di dalam Mall. Keluarga Rama menolak dijemput sopir pribadi keluarga kita. Kesenjangan sosial penampilan kelurgaku dan keluarga Rama mungkin bakalan keliatan jelas banget di mata orang-orang yang lihat kita. Ibu Rama dengan pakaian sopan sederhananya, Freya dengan gaun usang yang mungkin udah jadi pakaian terbaik yang dia punya.

Anak itu nggak natap aku, mungkin dia masih takut atau benci sama aku, bukan waktu yang tepat juga buat aku nyuri hatinya. Percakapan keluarga kita hari ini cuman percakapan ringan tapi penuh pertimbangan soal kapan pernikahan kita diadakan, dimana tempatnya dan biaya pernikahannya. Papaku yang dari dulu udah merencanakan pesta pernikahan buat aku ditahan sama Mamaku. Beliau mau gimana pesta hari ini tetep tergantung sama Rama dan aku.

Kita juga berencana ngasih tau keluarga besarku pas sebulan sebelum pernikahan kita nanti.

Aku nggak pernah nyangka hari ini tiba. Aku dulu selalu ngira kalau hari besar ini bakalan aku lakuin sama Kevin. Ternyata, dunia selalu punya cara tersendiri buat ngasih kejutan sosok sosok di dalamnya.

Senangnya, aku menerima pilihan Tuhan buatku dengan lapang dada. Nggak ada keraguan, penyesalan ataupun rasa takut sedikitpun.

Mungkin, hidup memang pada akhirnya berakhir kayak gini. Suatu saat kita pasti tau jawaban dari pertanyaan pertanyaan hari ini seperti hari ini kita akhirnya tau jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang selalu kita simpan di hari-hari sebelumnya.

 Suatu saat kita pasti tau jawaban dari pertanyaan pertanyaan hari ini seperti hari ini kita akhirnya tau jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang selalu kita simpan di hari-hari sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sunshine. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang