06. An axe to grind.

29 7 1
                                    

Satu demi satu rangkaian acara terlaksana dengan baik. Aku juga udah menyaksikan "sesi meet and greet" dadakan Kevin dan fans-fansnya. Udah denger kalimat motivasi yang benar-benar memotivasi dari Mamaku diatas panggung dan udah denger kalimat motivasi yang terdengar songong dan pamer dari beberapa sepupuku yang juga mengisi acara. Sok ngasih kiat menjadi sukses di usia muda padahal mereka udah sukses dari sebelum lahir karena lahir dari keluarga kaya. Omong kosong yang disukai oleh orang-orang yang hopeless tentang apakah mereka bisa sukses atau selamanya gini-gini aja.

Aku nggak punya bagian apa-apa di setiap acara yang berlangsung setiap tahunnya. Aku selalu cuman jadi penonton. Duduk dibawah tenda dengan kursi lipat yang jujur aku benci karena terlalu pendek dan membuat dressku kotor, ditemani dua kipas angin disisi kanan dan kiriku dan dilengkapi beberapa cemilan dan kulkas mini untuk aku minum atau makan buah.

Kalau sekarang, aku lagi liatin lomba berhadiah uang tunai satu juta dan produk senilai limaratus ribu sambil heran kenapa orang mau mempermalukan dirinya dengan memakai rok rumbai-rumbai yang dibuat dari tali rafia sambil balap kelereng sendok. Hadiahnya bahkan nggak lebih besar dari harga diri manusia. Lain kali aku akan menyarankan supaya hadiahnya minimal 100 juta ke EOnya.

Aku mendengus entah udah yang keberapa kalinya. Debu-debu itu masuk ke mataku. Aku benci ada di tempat seperti ini.

Meletakkan tas ke kursi kosong lainnya disampingku, aku merogoh kulkas mini untuk mengambil produk minuman dari Nusafood yang penjualannya nggak bagus. Sebenernya produk ini bisa aja di discontinue kalau aku nggak tergila-gila sama minuman nggak laku ini. Nama produknya adalah Coffela, minuman soda kalengan dengan rasa dan aroma kopi. Sodanya kuat banget di tenggorokan, rasa kopi dicampur soda yang seharusnya aneh dan menyakitkan di tenggorokkanku anehnya malah terasa enak. Padahal banyak yang mau muntah di percobaan pertamanya minum minuman ini.

"Kevin keren, ya?" Rama tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Entah kemampuan pendengaranku mulai berkurang atau disini memang terlalu bising, aku nggak menyadari langkahnya. Dia nggak minta duduk atau minta aku minggirin tasku. Tapi, karena aku masih manusia, aku dengan kesadaranku sendiri mengambil tas itu dan ngasih isyarat supaya dia duduk.

"Kamu nggak akrab sama sepupu sepupu kamu, Ki?"

"Nggak." Jawabku singkat.

"Kamu nggak penasaran tadi aku ditanyain apa aja sama Nenek kamu?"

"Nggak." Kataku sambil mengeluarkan hpku yang lain dari dalam tas dan menunjukkan ke dia. "Tau kan kalo tadi pas lo di introgasi gue ga keluar bawa tas?" Semua percakapannya udah gue rekam. Tinggal ngumpulin mood buat dengerin."

Rama ngangguk-ngangguk sambil senyum. "Anak kita bakalan pinter kaya Ibunya dan pekerja keras kaya Ayahnya pasti."

Aku keselek. Demi apapun seketika aku sadar kalau minuman ini rasanya kayak ampas kotoran babi. Nggak enak banget. Aku keselek nggak ada habisnya, sampai Rama yang nggak pernah nyentuh aku dengan percaya diri gerakkin lengannya ke punggungku buat dielus dan ditepuk pelan.

"Nih, minum dulu." Dia nyodorin satu botol kecil air mineral dan langsung aku minum.

Aku lempar kaleng yang masih ada isinya beberapa senti dihadapanku dan karena aku pinter, posisi mendaratnya kaleng itu tepat berdiri. Jadi nggak tumpah. "Ini minuman nggak enak banget. Lu dari divisi R&D kan? Suruh kepala R&D mempertimbakan buat minuman ini stop produksi."

"Jangan buang sampah sembarangan, Kianna." Dia mungut kaleng itu dan memasukkannya ke tempat sampah terdekat. Setelah itu dia buka kulkas mini yang ada di dekat kita dan mengambil satu kaleng Coffela. "Boleh saya cobain?"

"Cobain aja."

"KAK RAMAAAA." Anak kecil sekitar berusia 10 tahunan lari nyamperin kita dan meluk paha Rama. Dia diantar sama Ibunya—mungkin. Ibu itu natap ke arah kita, otomatis mau gak mau aku senyumin karena beliau senyum duluan.

Sunshine. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang