Udah tiga hari Mama selalu kirim makanan ke apartmentku, tapi karena aku nggak ada napsu makan— bukan karena sedih ataupun menyesal, aku nggak pernah keluar untuk menerima kiriman makanan yang dianter sama kurir.
Aku nggak sedramatis itu sampai nggak makan tiga hari. Di kulkasku ada banyak buah, aku punya stok makanan instan dan aku juga punya banyak persediaan untuk masak.
Aku tetep makan, berolahraga dan menonton film. Kalau lagi butuh banget temen bicara, aku biasanya video call sama Navya. Aku sesekali nyalain hpku yang satunya untuk lihat ada pesan penting atau nggak, tapi setiap malam aku selalu berakhir kecewa entah karena apa.
Hari ini karena Mama sendiri yang nganter makanan, aku nggak mungkin biarin beliau berdiri di depan pintu. Aku buka pintunya dan membiarkan beliau masuk.
"You okay? Ada banyak yang harus kita bahas."
☁️
Mobil kami berhenti di depan gang daerah yang bisa dibilang kumuh. Aku ditemani mamaku, yap, kita cuman berdua, turun dari mobil Mercedes kami sambil bawa banyak bingkisan produk Nusafood. Di dalam tas buatan desainerku ini juga ada amplop tebal berisi uang tunai. Permintaan maaf ini, rasanya sama sekali nggak tulus. Aku tau Mamaku berusaha keras untuk meminta maaf, tapi bagiku, i mean if i were the victim, aku jelas akan menganggap kalau ini sogokan dari orang kaya untuk membeli sebuah maaf.
Berjalan menyusuri rumah-rumah sempit dan bau, kita diliatin. Nggak anak-anak, nggak orang dewasa, mereka ngeliatin kita. Ada yang godain juga. Ada anak kecil nakal iseng yang menarik narik tasku. Kelakuan menyebalkan itu persis kayak kelakuan kucing kampung yang minta makan. Atau jangan-jangan... mereka lagi minta makan sama aku?
"Kayaknya ini, Kak." Mama berhenti di satu rumah bercat hijau. No offense, tapi aku bisa membayangkan betapa miskinnya keluarga yang tinggal di rumah ukuran 5X5 ini. Mama membuka pagar yang jaraknya nggak ada satu meter dari pintu. Mereka nggak punya halaman yang layak. Lagipula kalau lingkungannya sekumuh ini apa yang bisa dilakuin juga misalnya mau duduk duduk bersantai di halaman?
Nggak lama, anak kecil membuka pintu. Aku tau bener itu Citra. Tatapan excitednya karena dapat tamu hilang gitu aja ketika matanya natap aku. Dia terbelalak ketakutan. Aku yakin kalo aku melotot dikit aja pasti dia udah nangis.
Dia nutup pintunya lagi dan berteriak sambil lari ke belakang. "Ibuuu ada Tante jahat di depan."
Sialan. Apa harus seperti itu?
Mama mengelus punggungku, mencoba meredam emosiku. Mama yang paling tau kalau aku bersumbu pendek.
Nggak lama pintu kembali terbuka. Mamaku menampilkan senyumannya yang seperti biasa selalu tulus. Jujur aku nggak tau wajah penyihirku ini dapat dari siapa.
"Ada apa ya Ibu sampai datang ke rumah saya? Oh, iya, silahkan masuk dulu." Dia mempersilahkan kita berdua masuk.
Mempersiapkan segala hal agar kita bisa duduk. Ini nggak seperti ruang tamu karena ruangan kecil ini berisi macam-macam perabot seperti tv, kasur kapuk yang tergeletak dilantai, lemari tua yang kayunya bau apek, kulkas satu pintu model lama, dan sepeda. Beliau menyingkirkan barang barang yang kiranya bisa disingkirkan kemudian menggelar tikar anyaman. "Silahkan duduk. Citra, buatin teh hangat dua ya."
"Iya buk."
"Ah, Mbak, nggak usah repot-repot." Kata Mamaku sambil menyentuh tangan Ibu dihadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine.
FanfictionMenikahi perempuan kaya raya nggak pernah ada di wishlist Rama karena sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, tentunya dia ingin membahagiakan keluarga kecilnya dengan kemampuannya sendiri. Namun, bagaimana jika perempuan itu adalah Kianna? Model...