ACT III. FAREWELL TO THE NINTH WAYS

868 193 48
                                    

Chapter XIX
The Facts That Leave Behind

Sudah tiga hari berlalu semenjak kejadian Jarreth berkunjung di tea house. Marie habiskan hari harinya seperti biasa, ia bekerja seperti biasanya, rutinitas membosankan seperti biasa.

Gadis itu tengah membantu Bagas menyiapkan pesanan teh untuk pelanggan, saat Nikolas berjalan masuk ke dalam tea bar. Laki-laki itu mengayunkan tangannya ke pelipis, membentuk gestur hormat ke arah Marie. Tanpa menoleh, Marie berkata, "Gimana, Nik?"

"Gebetan Chandra yang anak kedokteran itu udah dateng, Kak. Sebagai duta pertukaran informasi, aku gak bisa diem aja," Bagas yang pertama menoleh setelah menerima informasi dari Nikolas.

Pria itu menggeret lengan Nikolas, "Yang mane?!"

Pas sekali, dua hari belakangan ini sedang ada rumor rumor baru yang beredar di antara team tea house—katanya Chandra sedang pedekate dengan mahasiswa kedokteran yang tengah melaksanakan koas. Entah bagaimana keduanya bisa bertemu, Chandra enggan bercerita. Memilih untuk tutup mulut.

Tapi kemarin laki-laki itu memang berkata kalau ia mengajak gebetannya untuk berkunjung ke tea house, sebagai upaya promosi agar Ndoro Saji bisa lebih dikenal luas juga, modus.

Marie tertawa kecil melihat Bagas yang nampak antusias, "Mana sih?" tapi akhirnya juga ikut mengintip karena penasaran.

Ketiganya mengintip melalui jendela tea bar yang langsung mengarah ke area duduk pengunjung. Jendela tadi bentuknya terbuka tanpa kaca, lebar sekitar 100 cm dan tinggi 50 cm. Dari sini, mereka bisa lihat Chandra tengah mengantar seorang gadis dengan kemeja dan rok midi yang menuju ke meja untuk 2 orang.

Laki-laki itu sempat menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan seksama oleh team-nya yang lain, jadi ia mengibaskan tangannya. Memberi isyarat untuk tidak memberikan tatapan mencurigakan.

Marie terkekeh, indera pendengarnya tangkap denting khas dari pintu tea house. Mata gadis itu nyalang menatap ke arah sumber suara, benar saja yang ia tunggu tunggu datang. Kuwana dengan senyum lebarnya, tak lupa bunyi krincing krincing tiap ia berjalan—bunyi tadi berasal dari belasan gantungan kunci di tasnya.

"Mayan," Bagas mengangguk, "Keliatan tajir."

Nikolas menggeleng lalu berdeham, "Gak lah. Jauh masih cantik Kak Marie. Udah cantik, pinter ngelola bisnis, mandiri lagi, ya gak, Kak?"

Namun seperti tak mendengar, Marie malah melongokkan kepalanya tadi jendela tea bar, gadis itu melambaikan tangan ke arah Kuwana. Kuwana membalas sapaan Marie dengan jemarinya yang menunjuk ke arah kursi untuk dua orang yang terletak di area outdoor—memberi tanda di mana ia akan duduk kepada Marie.

Marie mengacungkan jempolnya lalu berhenti melongok dari jendela, "Gas, Nik, lanjut handle ya. Aku mau nyamperin Kuwana dulu."

Jangan ditanya, Nikolas patah hati untuk kesekian kalinya.

Bagas mengangguk ke arah Marie lalu menatap iba ke arah sahabatnya itu, "Abis ini lu dengerin Tampar lagi aja deh. Juicy Luicy nyanyi sampe sariawan juga gak sadar sadar lu," Bagas mencebik, "Minimal S3 dulu, Bro."

"Gue udah S3 ya, Sotil," Nikolas menghela napas lalu menatap Marie yang sudah berjalan keluar dan menyusul Kuwana menuju area outdoor, "Sangat Sayang Smarie."

"Maksa anjir!"

Hari ini Kuwana datang untuk mengantarkan pesanan kaset jadul yang gadis itu beli di pasar antik, Marie membutuhkan benda tersebut sebagai media menghias tea house agar lebih nampak otentik.

1 TO 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang