Chapter V
Walking Home Under the Rain Together"Eh, eh! Mau kemana kamu?!"
Jarreth berhenti berjalan menuju pintu rumahnya. Pria itu menenteng dua helm, masing-masing di tangan kanan dan kirinya. Setelah memutar tubuhnya untuk menghadap Efendi, Jarreth membalas dengan ringan, "Mau ngajar lah? Kayak biasa?"
Efendi mengernyit, "Terus? Kenapa bawa helm dua?"
"Oh, habis ngajar nanti aku mau ketemu dosbing terus pergi keluar sama Marie."
Mendengar nama Marie disebut, tak ayal Efendi langsung terbelalak dengan pandangan tak percaya. Pria itu melepas kacamata yang ia kenakan—sebelumnya Efendi memang sedang mengerjakan proyek klien—lalu melangkah dengan cepat untuk merebut helm kedua yang dibawa oleh Jarreth. "Udah beneran gak waras kamu, Jarreth. Kamu mau ngajak anak orang jalan habis seharian ngajar sama bimbingan?"
Jarreth mengangguk kecil. Memang kenapa?
"Udah bau ketek, bau matahari, bau—"
"Aku gak bau ketek!" dengan cepat, Jarreth memutus kalimat ayahnya, enggan mendengar apapun lanjutan kalimat yang akan dikeluarkan pria itu. Lagi pula, Jarreth tidak akan berkegiatan banyak di luar ruangan kok. Selama mengajar dan bimbingan, ia akan selalu berada di dalam kelas yang memiliki pendingin ruangan.
Efendi masih menatap nyalang anak semata wayangnya itu dengan tatapan kesal, enggan dibantah. "Keluarga kita punya mobil, 4. Padahal keluarga kita cuma 3 orang. Kamu bisa jemput Marie pakai mobil kan, apalagi ini musim penghujan," ujar Efendi.
"Yah, kan—"
"Ayah gak mau dengar alasan, 'Tapi kan kalau naik motor ke kampus gak bakal kena macet' atau 'Naik mobil lama' ya. Kamu terserah mau ke kampus naik apa, tapi sehabis itu pulang dulu, bersih bersih yang ganteng, baru jemput anak orang."
Jarreth memandang ayahnya dengan pandangan tersakiti, "Jadi selama ini aku gak ganteng?"
"Mirip gembel. Apalagi kalau baru selesai ngajar."
Jarreth hanya menghela napas kesal, sudah jelas ia tidak akan bisa menang dari perdebatan ini. Pria itu tatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tinggal 20 menit lagi sebelum kelasnya dimulai—jarak dari rumah Jarreth ke kampus membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Sepertinya ia harus ngepot ngepot dan menyalip kendaraan seperti Valentino Rossi lagi pagi ini.
Jadi Jarreth mengangguk menyetujui saran ayahnya, pria itu lalu mengenakan helm full face yang memang sehari-harinya ia gunakan. "Ya udah, kalau gitu aku berangkat ke kampus dulu."
Efendi hanya mengacungkan ibu jarinya kepada pria itu. "Udah bawa jas hujan kan? Perkiraan cuaca bilang hari ini kemungkinan hujan di 80% area sekitar, takutnya kawasan kampus kamu kena."
"Bawa kok," Jarreth memutar kenop pintu rumahnya dan menariknya masuk untuk membuka pintu tersebut, "Aku pergi dulu."
────୨ৎ────
Marie berhasil menjalankan rencananya secara diam-diam. Gadis itu sudah bisa mengajak Jarreth untuk pergi menonton bioskop saja—di mana mereka akan diam selama sekitar dua jam lamanya. Lalu untungnya, Jarreth masih sempat bertanya kepadanya melalui LINE, ingin dijemput menggunakan kendaraan apa. Tentu saja Marie langsung menjawab motor, ia bisa berpura-pura budek nantinya. Kepura-puraan itu kan tidak bisa ia lakukan di dalam mobil.
"Kak Marie gak pulang dulu? Kata Pak Adit, mau ada kencan."
Marie menoleh ke arah Bagas, salah satu dari karyawannya yang sempat mendengar perbincangan antara Marie dengan ayahnya. Saat itu Bagas baru menyelesaikan ibadah di mushola dan ingin menyapa Marie yang ia lihat dari luar mini library. Dinding mini library memang didesain oleh Aditama menggunakan material kaca agar bisa dilihat dari luar. Dinding tersebut juga dapat memberi kesan yang luas.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 TO 9
FanfictionKalian pernah mendengar istilah Kuzure? Di Jepang, angka 9 terkadang dianggap sebagai angka sial. Sebab memiliki bunyi yang mirip dengan kata untuk 'penderitaan'. Marie percaya kalau hal tadi hanya takhayul semata sampai durian busuk menimpa dengan...