Chapter XX
A Little Too MuchPendingin ruangan dari kantor milik Pak Iqbal seperti menusuk kulit Jarreth saat dosen pembimbingnya itu menggerakkan kursor dari mouse Jarreth, melihat perkembangan penelitian untuk disertasinya.
"Kadang saya suka mikir kalau kamu ini cocok banget misal jadi dosen PWK," PWK yang dimaksud Pak Iqbal adalah Perancangan Wilayah dan Kota—sama seperti arsitektur, mereka juga merancang, bedanya cakupannya lebih ke arah wilayah dan kota.
Untuk disertasi kali ini, Jarreth juga masih membawa konsep rancang kota jagoannya itu. Kali ini ia akan mengkaji sekaligus mendesain sebuah smart city yang dikombinasikan dengan UHI Studies—Urban Heat Island, bab tersebut mempelajari peningkatan suhu di area perkotaan akibat urbanisasi.
Dalam perancangan sebuah smart city, bisa saja akan terjadi potensi global warming ataupun perubahan data iklim yang signifikan akibat modernisasi. Kali ini, Jarreth akan meneliti upaya perancangan smart city yang tetap memperhatikan peningkatan suhu dan melibatkan data iklim, vegetasi, maupun tata letak bangunan. Ia juga menggunakan GIS, Geographic Information System serta model termal untuk menentukan solusi.
Jarreth hanya tertawa kecil merespon ucapan Pak Iqbal. Dosen pembimbingnya ini mengangguk kecil, "Kalau dari saya lagi ya, Jarreth. Menurut saya kamu tetap harus membuat simulasi jangka panjang dari suhu dan konsumsi energi yang dibahas sejak awal, sebagai perbandingan. Terus bakalan lebih baik lagi kalau kamu sertakan partisipasi masyarakat juga."
"Oh kalau untuk itu," Jarreth dengan segera menjelaskan, "Saya sudah coba untuk menambahkan aspek partisipasi masyarakat, Pak—saya sebut dengan analisis sosial. Jadi di sana saya meneliti dan mencari tau bagaimana dampak perancangan ini terhadap keseharian warga."
Pak Iqbal, "Oke," beliau mengangguk, "Nanti bisa disertakan kembali di sini. Lebih cepat lebih baik. Kamu survei sama wawancara warga langsung aja, minta ditemenin sama cewek kamu."
Jarreth tertawa canggung, bingung mau menjawab apa.
Namun, seperti menyadari ada sesuatu yang off. Pak Iqbal lanjut menuliskan beberapa notes terkait konsultasi hari ini menggunakan digital pencil di jurnal penelitian milik Jarreth. "Ditemenin cewek-mu lagi gak hari ini, Reth?"
"Belum jadi cewek saya, Pak," jawab Jarreth singkat. Mendadak jadi kesal karena mengingat dirinya masih miliki 0 komunikasi dengan Marie belakangan ini. Sepertinya sudah hampir 5 hari berjalan.
Pak Iqbal hanya mencebikkan bibirnya sembari mengangguk kecil, "Oalah, teman tapi mesra gitu toh?" Tebak umur! Biasanya orang-orang zaman sekarang akan menyebut HTS, istilah TTM sudah lama sekali tidak Jarreth dengar kembali.
Pak Iqbal tersenyum kecil melihat perubahan ekspresi Jarreth saat mendengar kata-katanya, lalu tersenyum dengan penuh pengertian. "Begitu ya, saya kurang mengerti juga permasalahan kalian apa, mungkin ada kesibukan masing-masing juga toh," ucapnya bijak. "Tapi, Jarreth, yang bisa saya bilang cuma kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Kalau memang kamu merasa dia penting, jangan terlalu lama ragu-ragu. Laki-laki itu, kalau punya niat baik, ya harus diperjuangkan, kan? Setuju ndak?"
Tak ayal Jarreth tersenyum kecil lalu mengangguk. Pak Iqbal jadi ikut kepo dengan urusan mahasiswanya ini—maklum, anak-anaknya sudah dewasa dan belakangan ini kawan bermain Pak Iqbal hanya cucu-cucunya saja.
"Lha kamu ini, sudah yakin belum? Sudah suka? Apa memang betulan cari gandengan buat wisuda aja?"
"Gak dong, Pak," Jarreth tertawa kecil lalu menggeleng, "Kalau ditanya suka atau enggak sih, saya malah heran emang ada ya yang gak suka sama Marie? Pribadinya nyenengin, vibesnya positif. Jujur aja lumayan bikin saya semangat buat cepet cepet nyelesaiin disertasi juga sih, Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
1 TO 9
FanfictionKalian pernah mendengar istilah Kuzure? Di Jepang, angka 9 terkadang dianggap sebagai angka sial. Sebab memiliki bunyi yang mirip dengan kata untuk 'penderitaan'. Marie percaya kalau hal tadi hanya takhayul semata sampai durian busuk menimpa dengan...