Chapter IV
Well, He Looks Like a Frog
Setiap Senin pagi seperti ini, Jarreth miliki jadwal untuk pergi menghadiri kelas Studio Perancangan Arsitektur 3. Karena kali ini para mahasiswanya akan melakukan presentasi secara berkelompok mengenai progress analisa site mereka, maka Jarreth akan menggunakan ruang kelas yang sama yang ia gunakan untuk kelas Studio Perancangan Arsitektur 5 pada hari Sabtu minggu lalu.
Pagi ini, rasanya semesta seperti tengah mendukung Jarreth sepenuhnya. Mungkin karena ia berolahraga pada hari Minggu kemarin, entah mengapa ia terbangun dengan keadaan sangat bugar. Jarreth membuka ponselnya begitu bangun dan langsung disambut oleh kabar kalau penyusunan disertasi Bab 3: Metodologi Penelitian miliknya sudah lolos revisi oleh dosen pembimbing. Jarreth bisa memulai proses pengumpulan data setelah ini. Langkah kakinya terasa ringan bukan kepalang, semoga saja hari-harinya bisa terus berjalan mujur seperti ini.
Kalau ada satu hal yang bisa Jarreth kritisi, mungkin adalah janjinya untuk pergi ke sebuah tea house sore ini. Jika kita memutar waktu sejenak, usai kegiatan makan siang minggu lalu—Jarreth memang mendapat tawaran untuk mengenal anak semata wayang Aditama, Marie namanya.
Jarreth sih jujur saja tidak tertarik. Isi kepalanya sudah penuh dengan jadwal mengajar mahasiswa; Jarreth kebagian mengajar 7 kelas berbeda semester ini, lalu ia juga harus mengurus sendiri disertasinya agar bisa segera lulus dan mendapatkan gelar doktornya. Jadi, tak pernah terlintas sedikit pun di pikirannya, untuk pergi melenggang dan menggaet gadis di luar sana.
Sebenarnya, Jarreth sudah berusaha untuk membujuk Efendi. Pria itu bahkan sempat berpikir kalau ayahnya ini hanya bercanda saja, seperti apa yang selalu ia lakukan di hampir separuh waktu hidupnya. Namun sial, sepertinya kali ini Efendi benar-benar serius.
"Sembilan kali aja, Jarreth. Sembilan kali percobaan kencan kamu mengenal anaknya Aditama, kalau gak cocok ya sudah batal. Masing-masing dari kalian merekomendasikan empat kegiatan, terakhir diputuskan berdua," Efendi masih sempat terkekeh geli, "Lucu juga. Ayah ada bakat ya jadi mak comblang?"
Lebih ke bakat memantik emosi orang sih.
Terus kenapa juga harus sembilan? Seperti tidak ada angka lain saja. Jalur pikiran Efendi memang tidak bisa ditebak.
"Ayah tau sendiri aku lagi sibuk ngurusin disertasi, belum urusan kampus. Gak ada waktu buat beginian," protes Jarreth saat keduanya sedang berjalan menuju lahan parkir restoran casual dining saat itu. Jarreth membawa motor sih, tapi karena protesnya terus-terusan tak didengar, jadi dia mengekori Efendi sampai ke mobilnya.
Efendi berhenti berjalan untuk mencari kunci remot mobil di dalam saku celananya, "Halah. Setiap Minggu aja kamu cuma nonton Boboiboy sambil lari di treadmill kok. Percaya deh, Jarreth, bakalan lebih seru jogging di luar sama istri."
"Istri?!" Jarreth menganga sampai rasanya ingin menyedot seluruh dunia dan seisinya, "Gila kali! Aku belum mau nikah!"
"Udah umur segini masih aja nyelak ucapan Ayahnya," Efendi menekan tombol buka pada kunci remot, sebelum menarik gagang pintu mobil, "Kamu itu udah berumur. Anak Ayah cuma kamu doang lagi, Ayah kan juga pengin gendong cucu."
Jarreth meremas rambutnya frustasi, "Ayah tunggu akhir semester ini aja, aku bakal kasih Ayah cucu. Hasil penelitian sama disertasiku."
"Mimpi aja sana! Gak bakal Ayah terima!"
Begitu lah, akhirnya Jarreth kalah pada perdebatan melawan Efendi. Sebenarnya mudah saja sih, Jarreth tinggal bersifat angkuh dan menyebalkan seperti ia menghadapi mahasiswanya saja, gadis bernama Marie tadi juga pasti akan mundur. Memangnya ini tahun berapa? Masih saja percaya dengan Siti Nurbaya.
![](https://img.wattpad.com/cover/379601665-288-k403647.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
1 TO 9
FanfictionKalian pernah mendengar istilah Kuzure? Di Jepang, angka 9 terkadang dianggap sebagai angka sial. Sebab memiliki bunyi yang mirip dengan kata untuk 'penderitaan'. Marie percaya kalau hal tadi hanya takhayul semata sampai durian busuk menimpa dengan...