XIII

1.1K 240 44
                                    

Chapter XIII
What Did He Said, Again?


Mobil Jarreth melaju pelan di jalan sore yang dipenuhi kendaraan. Di dalam, suasana nyaman terbangun dengan lantunan suara Iwan Fals yang tengah menyanyikan lagu Galang Rambu Anarki terdengar dari speaker mobil. Jarreth, dengan satu tangan di kemudi, tersenyum kecil ke arah Marie yang duduk di sampingnya.

Sudah empat hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di tea house, saat Jarreth belajar membuat teh bunga telang bersama Marie. Meskipun keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas masing-masing. Jarreth tak bisa memungkiri, ada beberapa memori menarik di kepalanya yang terus berputar tentang segala kejadian empat hari yang lalu. Kini, sore itu, ia duduk di balik kemudi, menatap jam di dashboard mobil sambil menunggu di depan rumah Marie.

Tak lama kemudian, pintu rumah Marie terbuka, dan Marie keluar dengan langkah ringan. Ia mengenakan blouse kasual—masih dengan warna netral yaitu abu-abu dan celana panjang hitam, tampak santai seperti biasa. Rambutnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang di ujungnya, berayun seiring gerakan langkahnya. Jarreth segera keluar dari mobil untuk membukakan pintu samping penumpang.

"Hai Jarreth, maaf nunggu lama, ya? Tadi aku masih bantu Bunda dulu," sapa Marie sambil tersenyum.

"Gak juga kok, aku baru aja sampai," jawab Jarreth dengan senyum hangat dan tangan yang sudah membuka pintu mobil. "Udah siap buat jelajah pasar antik?"

Marie mengangguk antusias lalu masuk ke dalam mobil, usai Jarreth memastikan kalau Marie duduk dengan nyaman dan pintu mobil tertutup dengan benar, ia berjalan memutar untuk kembali duduk di bangku kemudi.

"Masih suka lagu-lagu jadul, ya?" Marie berkomentar sambil menoleh ke Jarreth. Sebab kali ini, lagu yang sedang berputar merupakan lagu dari musisi Iwan Fals.

Jarreth hanya terkekeh, "Iya dong, kan kamu udah tau. Kataku sih, gak ada yang bisa ngalahin keindahan lagu-lagu lawas."

Marie mengangguk pelan, memandangi jalanan yang mulai ramai di luar jendela. "Empat hari gak ketemu, ternyata aku lumayan kangen juga dengerin lagu-lagu jadulmu. Rasanya kayak ada yang kurang," ujarnya setengah bercanda.

"Serius, kangen?"

"Iya, kangen sama lagu-lagu jadulnya."

Jarreth tertawa kecil. Duh, berharap apa sih dia ini?

Marie kembali menggumam, "Tau gak sih, sebenernya aku belum pernah ke pasar antik. Makanya aku penasaran banget waktu kamu bilang mau ngajak aku ke sana. Siapa tau bisa nemu sesuatu yang unik buat dekorasi di tea house."

"Kamu pasti suka. Banyak barang-barang vintage yang punya ceritanya sendiri," balas Jarreth sambil mengangguk, memberi kesan positif pada gadis di sampingnya.

Namun, segera setelah 20 menit mengemudi dan mengobrol santai dengan Marie—saat itu juga ponsel Jarreth yang diletakkan di dashboard bergetar. Ia melirik layarnya dan melihat sebuah pesan masuk dari dosennya. Ekspresi wajahnya berubah sedikit kebingungan saat membaca isinya.

"Kenapa?" tanya Marie, memperhatikan perubahan ekspresi Jarreth yang tengah membaca pesan saat mereka sampai di pemberhentian lampu merah. Pria itu memegang ponsel tadi menggunakan tangan kirinya.

Jarreth menghela napas sebentar sebelum menjawab, "Dosbingku tiba-tiba minta aku konsultasi sore ini juga. Harusnya sih besok, tapi besok ternyata beliau ada seminar," Jarreth menatap Marie dengan wajah bersalah. "Kayaknya kita gak bisa ke pasar antik sekarang. Gimana? Maaf banget, Marie."

Marie mengangguk pelan, tersenyum untuk menenangkan Jarreth. Gadis itu sangat memahami kondisi Jarreth kok, ia tau kalau Jarreth memang sesibuk itu. Bagaimana tidak? Kombinasi antara dosen dengan kuliah S3 memang cukup membuat jawdrop. "Gak apa-apa, kok. Kalau kamu harus konsultasi, aku ngerti. Kamu mau ke kampus sekarang? Mau aku temenin?"

1 TO 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang