XXI

681 155 70
                                    

Chapter XXI
A Little Death

Trigger warning: this chapter contains attempted murderer scenes and blood. Not safe for work.

"Kamu yakin gak mau nginep di sini aja?"

Ditanya begitu buat Marie menggeleng. Ayo kita memutar waktu sejenak, hari ini Marie miliki janji temu bersama dengan editor-nya, Anjani. Wanita tadi hanya terpaut usia lebih tua 4 tahun dari Marie—dan sudah berkeluarga.

Seharusnya mereka hanya mengobrol terkait proyek baru yang akan dikeluarkan oleh M. Victor, karena Marie menciptakan karakter M. Victor ini sebagai penulis anonim misterius yang tak diketahui latar belakangnya pun tak miliki sosial media—jujur saja, ia cukup kelabakan untuk berinteraksi dengan para pembaca terkait menginformasikan proyek baru. Jadi Marie meminta saran dan mengobrol panjang dengan editor-nya itu.

Pada proyek terbaru ini, Marie ingin mengangkat tema tentang Kuzure. Gadis itu—sebagai M. Victor tentu saja, memang cukup sering melakukan self-insert pada proyek tulisannya. Namun, akan ditambahi oleh bumbu bumbu thriller.

Marie punya ide untuk menciptakan sebuah novel baru dengan konsep utama Kuzure dan genre horror thriller psychologist. Genre keahliannya.

Takut idenya akan menguap hilang begitu saja, buat Marie jadi langsung membuat janji temu bersama dengan Anjani—keduanya berbincang panjang lebar sampai hal-hal yang tak terkait dengan novel sekali pun, seperti kehidupan pribadi.

Rencananya setelah pertemuan ini, esok atau lusa Marie dan Anjani akan bertemu dengan tim lain untuk membicarakan proyek terbaru. Marie sudah menulis prolog dan tiga bab pertama, ia ingin melihat reaksi orang-orang, dan baru akan mulai melanjutkan penulisan naskah setelahnya.

Marie menutup resleting shoulder bag miliknya yang berisi iPad sebelum menatap ke arah Anjani, "Ah, gak enak aku, Kak. Lagian rumah aku dari sini kan gak sampai 6 km jauhnya."

"Ya tetep aja," Anjani nampak khawatir, "Ini udah mau jam 1 malem loh. Apa aku suruh suamiku anterin ya? Lebih aman."

"Kak astaga," Marie menggeleng ke arah wanita itu, "Ini malem Minggu, jalanan pasti masih rame. Aman kok, aman. Lagian kan cuma 6 km."

────୨ৎ────

Nyatanya, Marie berakhir tidak yakin dengan keputusannya sendiri.

Perasaan beraninya mendadak menguap bak uap air mendidih saat motornya berhenti di sebuah lampu merah jalan raya. Di jalan yang sebesar itu, hanya ada motornya dan satu mobil berjenis SUV. Tak ayal Marie bergidik, enggan membayangkan bagaimana sepinya jalanan menuju rumahnya nanti.

Marie selalu memilih untuk mengendarai motor jika pergi ke rumah Anjani. Memang sih, jarak antara rumah Anjani dengan rumahnya terbilang tak begitu jauh—jika ditempuh menggunakan jalan pintas. Karena kalau Marie memilih untuk melewati jalan raya, maka ia harus berhadapan dengan jalan satu arah yang mewajibkan dirinya untuk memutar jauh.

Lagi pula, ini bukan kali pertama ia pulang larut dari rumah Anjani. Sebelumnya, gadis itu sudah sering bolak-balik dari rumah Anjani ke rumahnya sampai pulang nyaris jam 3 pagi. Semuanya aman, karena sebenarnya jalan yang dilewati Marie juga bukan jalanan sepi menyeramkan. Jalan pintas tadi merupakan jalur yang memisahkan antara distrik satu dengan distrik lainnya.

Namun sekarang, dengan berbekal shoulder bag berisi iPad saja entah mengapa ia merasa ragu. Mungkin karena efek Kuzure yang selalu menghantuinya, Marie jadi selalu menganggap dirinya dikejar oleh kesialan. Tangannya bisa dengan leluasa menarik pedal gas, kebut-kebutan di jalan karena jalanan nyaris kosong. Tapi ia ragu untuk lanjut.

1 TO 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang