XXII

993 236 68
                                    

Chapter XXII
I Called but You Didn't Answer

Sepertinya belum ada tiga bulan yang lalu Aditama dan Efendi melaksanakan studi banding bersama dengan anggota IAI Jawa Tengah ke Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Mereka mengadakan rangkaian acara tersebut selama 7 hari.

Selain itu, para arsitek tersebut juga berkesempatan datang ke Pulau Lembata, tepatnya Desa Lamalera. Sebuah desa yang terletak di kawasan pesisir. Lamalera terkenal akan tradisi perburuan ikan paus atau yang biasa disebut dengan koteklema. Beruntungnya, mereka datang bersamaan dengan saat di mana koteklema tengah dilaksanakan.

Setelah menyaksikan rangkaian awal prosedur kegiatan koteklema, Aditama dan Efendi berpencar untuk melihat-lihat gaya arsitektur tradisional yang ada di sekitar mereka.

Tanpa disadari, keduanya menjelajah semakin dalam masuk ke dalam desa. Benar-benar memasuki area pemukiman warga.

Mulanya, Aditama hanya berniat untuk mengadakan interview singkat dengan salah satu penduduk yang ada di sana. Pilihannya jatuh kepada seorang nenek yang tengah duduk bersila di dipan teras rumah sembari mengunyah sirih.

"Permisi, Bu. Saya Aditama, arsitek dari Jawa Tengah. Pengin tanya beberapa hal tentang arsitektur rumah di desa ini, apakah Ibu berkenan?"

Nenek tadi mendongak, matanya meneliti Aditama dan Efendi dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu mengangguk. Dirinya seperti mempersilahkan kedua pria tersebut untuk bergabung dan duduk di dipan yang sama dengan dirinya. Tanpa suara, hanya gestur tangan. Awalnya baik Efendi dan Aditama ragu—takut jika wanita di hadapannya ini ternyata tidak lancar berbahasa Indonesia, karena ia benar-benar tidak mengeluarkan kata apa-apa.

Aditama baru bisa duduk bersila dengan nyaman dan membuka mulut saat niatnya sudah diputus duluan, "Rejeki lagi bagus ya?"

Aditama mengernyit lalu menatap Efendi—yang sama menatapnya dengan penuh keheranan. Tadi sebelum Aditama dan Efendi pergi untuk berkeliling desa, tour guide yang disewa team IAI Jawa Tengah memang sedikit menyenggol tentang dukun atau shaman legendaris yang masih hidup hingga usia 92 tahun di dalam desa. Katanya banyak pejabat yang sudah bolak-balik kemari.

Apa mereka secara tidak sengaja sudah menemui shaman tersebut?

"Lagi dapat proyek besar kan," si nenek melanjutkan kalimatnya sembari menyesap sirih, "Rejeki bakal terus mujur asal tidak pernah serakah dan tergoda dengan esensi singkat duniawi."

Kening Efendi mengerut—bukan ini tujuan mereka ke sini, "Bu, kami kemari karena ingin bertanya tentang arsitektur rumah—"

"Anak laki-lakimu akan dapat 'ikan paus' dimulai saat umur 29 tahun," si nenek berkata, masih sama, tidak memandang Aditama dan Efendi. Fokus mengunyah sirih, "Dia bakal jadi orang mujur selama satu tahun. Tidak akan ada kesialan yang menimpa anak itu. Tidak akan pernah."

Bibir Efendi terkatup. Tunggu, kalaupun si nenek ini berkata asal, setidaknya ia sudah dapat dua tebakan benar. Benar, Aditama baru saja mendapatkan proyek sebuah perusahaan internasional di ibu kota Jawa Timur. Dan benar, Efendi memiliki anak laki-laki, yang tahun ini akan berusia 29 tahun.

Tunggu.

Ini menyeramkan.

"Dia akan jadi akademisi, belajar terus seumur hidupnya, mungkin akan memprioritaskan karir dan menikah di umur 31 tahun."

Oke, benar untuk yang ketiga kalinya—anak Efendi memang lah seorang akademisi.

"Bu—"

"Lebih baik setelah dari sini, kamu pulang dan cari cara untuk melindungi anak gadismu," ucapan Aditama diputus oleh nenek tadi, "Kematiannya mengerikan. Saya hanya melihat warna merah darah. Tahun ini usianya 29 tahun kan? Apakah anakmu punya keturunan darah dari orang Jepang yang mengalami Kutsojoku—Kuzure? Umur 29 nanti adalah saat di mana kutukannya dimulai."

1 TO 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang