II.

916 177 29
                                    

Chapter II
Jarreth and Mid-lunch Talk

Jemari Jarreth benarkan letak kacamatanya yang sedikit turun, pria itu menghela napas sejenak sebelum menggerakkan kursor dan mengaktifkan mode sleep pada laptop miliknya. Jarreth baru saja selesai mengisi kelas konsultasi studio perancangan pada siang ini, setelah kelas ini selesai maka ia bisa lanjut beristirahat makan siang.

Jarreth sudah bekerja sebagai dosen selama tiga tahun terakhir, selama bekerja ia juga melanjutkan studi di program doktor ilmu arsitektur dan perkotaan. Semester ini, seharusnya ia bisa fokus dalam mengejar disertasi dan menyelesaikan studinya. Namun, Jarreth seperti dikejar hantu setiap hari. Pria itu terlebih sibuk bukan main.

"Permisi, Pak Jarreth,"Ia tengah memasukkan laptop ke dalam tas saat suara mahasiswa yang memanggil namanya datang dari arah sebelah kanan. Jarreth menoleh, menatap dua orang mahasiswanya yang seharusnya sudah pulang—namun mereka kembali lagi.

"Iya?"

Keduanya nampak saling senggol, seperti saling menyuruh satu sama lain untuk berbicara terlebih dulu. Melihat pemandangan tadi, Jarreth hanya mengerutkan kening sembari menutup resleting tasnya, "Kalau gak penting, saya mau langsung pulang."

Salah satu di antara keduanya nampak mengalah sembari memejamkan mata sejenak sebelum berkata,"Begini, Pak. Jadi untuk pertemuan minggu depan boleh tidak ya kami meminta keringanan untuk target konsultasi mingguan?"

Jarreth berdiri, pria itu menyilangkan kedua tangan di depan dadanya dengan wajah masam. "Kenapa memang? Kamu mau ikut pelantikan presiden?"

Mampus sudah.

Duh pria ini! Dia memang sudah ditandai oleh mahasiswa sebagai dosen muda yang killer dan tidak pengertian sama sekali. Saat pertama kali bertemu dengan Jarreth, respon mereka pasti terlampau positif. Apalagi bagi para mahasiswi, kapan lagi bisa diajar dosen muda yang visualisasinya sudah seperti model? Masih lajang pula.

Namun yakin deh, 90% dari para pemuji Jarreth pada awal jumpa itu pasti akan segera menggosok mulutnya menggunakan sabun saat tau sifat asli pria itu. Sudah galak, terlampau perfeksionis—ya ini masih oke sih, tapi kata-kata yang dikeluarkan Jarreth pasti pedas jika mendapati mahasiswanya tidak menanggapi tugas dengan benar. Mau disebutkan lagi? Jarreth ini sama sekali tidak pengertian!

Para mahasiswa sendiri memiliki love-hate relationship dengan dosen muda yang satu ini. Pasalnya, meskipun mereka harus menghadapi segala ucapan tajam dari Jarreth, saat hari ujian tiba hasil desain studio mereka pasti akan nampak lebih baik dibanding dengan teman-teman studio dari kelas lain. Itu karena Jarreth akan mengutamakan kreatifitas mendesain dan terus meminta revisi jika ia menilai desain anak-anaknya masih dalam standar 'biasa'. Jadinya, banyak juga para mahasiswa yang tetap ingin dibimbing oleh pria itu agar bisa mendesain dengan lebih baik lagi.

Kembali ke problematika awal. Kedua mahasiswa tersebut sudah nampak gagu saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Jarreth. Salah satu di antaranya berdeham, "Seminggu ke depan bakalan ada rapat purna yang diadakan oleh HIMA, Pak. Biasanya rapat tadi berlangsung sampai dini hari, jadi kami ingin meminta—"

"Jadi kamu lebih ngutamain rapat purna daripada tugas studio kamu?"

Mampus lagi! Mampus!

Jarreth mengeluarkan kalimat tadi dengan ekspresi datar sih, namun kedua mahasiswanya ini sudah pengin mati saja di tempat. Jarreth mengangguk kecil, "Saya gak masalah ya, kalau kalian minggu depan tidak bisa mengejar target karena ada kegiatan lain. Gak masalah kok," Jarreth mengindikkan bahunya, "Kan semuanya juga sudah tau, peraturan kelas kita sejak awal semester bagaimana. Kalau target mingguan belum terpenuhi, tidak diizinkan konsultasi. Tidak mengikuti sesi konsultasi tanpa izin yang jelas, tidak diizinkan ikut kelayakan. Tidak mengikuti kelayakan, tidak diizinkan mengikuti ujian. Tidak mengikuti ujian, ya tinggal ngulang di semester depan. Mudah kan?"

1 TO 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang