Chapter VI
Lunch-hour with JarrethHari ini, Ndoro Saji sedang mengadakan workshop yang sebagian besar pesertanya didominasi oleh anak-anak. Benar, kali ini ada sebuah sekolah dasar berkelas internasional yang menghadiri workshop Ndoro Saji. Program ini merupakan salah satu upaya untuk mengenalkan cita rasa kekayaan minuman lokal kepada anak-anak.
Marie yang diberi tugas untuk memimpin workshop pada siang hari ini. Mengikuti rundown yang sudah dibuat, sesi kali ini adalah aktivitas prakarya dengan tema 'Sajian Kreasi Teh'. Setiap anak akan membuat kantong teh sendiri menggunakan daun teh lokal yang sudah disediakan. Teh tersebut akan dibagi menjadi dua bagian; diseduh di tempat dan dapat dinikmati saat ini juga, lalu sisanya akan dimasukkan ke dalam kotak yang bisa di-custom gambar sesuai yang anak-anak inginkan dan dapat dibawa pulang.
Marie menatap gemas anak-anak yang langsung menjulurkan lidahnya saat mencoba mencicipi rasa teh tanpa gula. Apalagi jika jenis daun teh yang dipilih oleh mereka adalah teh hitam. Dengan sabar, Marie akan menjelaskan kepada mereka tentang takaran gula dan cara menyeduh yang benar agar daun teh tersebut tidak terasa sepah ataupun pahit.
Sesi selanjutnya adalah storytelling legenda teh nusantara yang akan dilaksanakan oleh Nikolas sebagai moderator dan karyawan lain akan berpura-pura acting kecil-kecilan selama cerita dibacakan. Marie mundur dari tempatnya, menuju ke arah para guru yang sedang menunggu di bagian belakang murid-murid.
Salah satu guru di sana menyadari kalau Marie sedang berjalan mendekat lalu merangkul gadis itu, "Marie. Terima kasih lagi loh kami kembali disambut di sini," sapanya ramah sembari menepuk hangat lengan Marie.
Marie hanya tertawa kecil sembari mengangguk, "My pleasure. Saya selalu seneng kok kalau ada anak-anak ke sini buat ikut workshop. Takut aja kalau generasi muda jadi lupa tentang sejarah teh lokal, padahal menarik banget buat dibahas."
"Bener," guru tadi mengangguk, "Mungkin karena sekolah kami ini skalanya internasional juga, anak-anak cuma tau teh Twinings."Marie kembali tertawa hangat. Duh, memang dari penampilannya saja, Marie bisa tau sih kalau anak-anak murid di sini pasti berasal dari kalangan berada.
Kasihan, mereka pasti belum pernah minum es teh poci harga dua ribuan.
Saat sedang menatap sekitarnya sembari mengeluarkan ponsel untuk dokumentasi kegiatan hari ini, pandangan mata Marie terarah pada kursi bagian indoor yang letaknya ada di dekat pintu keluar. Workshop diadakan di area outdoor, jadi Marie bertatapan dengan orang tersebut melalui jendela transparan yang ada di dekatnya.
Jemarinya bergerak kaku, seperti ingin melambai untuk menyapa namun juga berhenti setelah melambai sebentar.
Oh?
"Permisi, Pak, Bu. Saya ke belakang sebentar ya," Marie tersenyum kepada jajaran guru yang ada di dekatnya lalu melangkah menuju pintu pemisah antara area indoor tea house dengan outdoor. Gadis itu berjalan menuju bangku yang sudah ia perhatikan sejak tadi.
Marie mengedip, "Kok gak bilang kalau mau mampir?"
"Rencananya saya mau makan siang aja kok," balas Jarreth sembari menunjuk ke arah nasi liwet khas Solo yang sudah ia pesan. "Hari ini serabi nangka masih belum ada ya."
Jemari Marie dengan perlahan tarik kursi yang ada di hadapan Jarreth dengan pelan sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di sana, "Gak bakal ada kalau itu. Kami cuma sedia rasa originalnya aja."
"Kenapa? Padahal serabi nangka kan enak."
"Menjaga cita rasa asli aja sih," balas Marie sambil menahan kekehannya yang ingin keluar. Sejujurnya, Chandra juga sudah cerita bagaimana Jarreth ingin memesan serabi nangka pada hari pertama kedatangannya ke tea house. "Kamu suka sama kuliner Solo ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
1 TO 9
FanfictionKalian pernah mendengar istilah Kuzure? Di Jepang, angka 9 terkadang dianggap sebagai angka sial. Sebab memiliki bunyi yang mirip dengan kata untuk 'penderitaan'. Marie percaya kalau hal tadi hanya takhayul semata sampai durian busuk menimpa dengan...