XVIII

674 156 126
                                    

Chapter XVIII
A New Side That I've Never Seen Before

Marie terduduk di antara Kuwana dan Jarreth yang menyiarkan gencatan senjata—bedanya kali ini senjata yang dimaksud adalah pita suara masing-masing. Semenjak Jarreth datang dan ikut bergabung di meja mereka, Kuwana seperti kehilangan suaranya. Gadis itu makan dalam diam.

Tak tahan dengan kecanggungan yang ada, Marie berdeham, "Bunganya total jadi berapa, Reth? Cantik banget."

"Gak usah diganti. Cantik ya? Kalau kamu suka, nanti misal ke sini aku bawain lagi, bunga anyelir mau?"

Rasanya Kuwana seperti ingin tersedak sendok besi yang ia genggam. Bukan tersedak sebutir nasi lagi, tapi sendok! Bisa kejang berjamaah teman-teman kampusnya kalau tau dosen lampir mereka bisa menjelma menjadi pria soft-spoken sang pembawa bunga.

"Eh, cantik tuh anyelir. Aku bisa titip lagi?"

"Ya, anything," sepertinya Kuwana tersedak lagi, kali ini tersedak bilah besi gorden tea house.

Marie hanya tertawa kecil, pandangan matanya beralih pada sepupu-nya yang makan dalam diam. Marie juga menyadari kalau sesekali Kuwana melirik ke arah jam dinding, seperti menunggu kapan sih teman sekelompoknya akan datang.

Jemari Marie letakkan bunga segar dalam vas yang dibawakan oleh Jarreth di atas meja, "Katanya Kuwana mahasiswa kamu ya?"

Jarreth termangu, perlahan kepalanya menoleh dengan kaku ke arah Kuwana. Mati sudah. Saat ini, baik Kuwana dan Jarreth tengah berkelahi dengan pikiran masing-masing. Jarreth khawatir jika Kuwana bercerita yang tidak tidak sementara Kuwana khawatir akan nasibnya di kelas Studio setelah hari ini berakhir.

"Ah, iya," Jarreth mengangguk menjawab pertanyaan Marie, "Tadi kita ada kelas kan, Kuwana?"

Jika bisa berteriak, Kuwana ingin berteriak 'Jangan ngomong sama aku!' namun apa daya, gadis itu terlebih ciut. Jadi, Kuwana hanya mengangguk kecil. Berhenti mengunyah dan meminum es teh melati miliknya.

"Iya, Kak Marie. Tadi aku emang habis dari kelasnya Pak Jarreth."

Marie mengangguk antusias—ia masih belum menyadari kalau Jarreth lah lampir yang dimaksud oleh Kuwana, "Bisa kebetulan banget. Seru dong punya dosen kayak Jarreth, dia kan sabar banget."

Sabar? Anomali ini bisa sabar? Bumi gonjang ganjeng!

Jarreth hanya keluarkan tawa kaku, pandangannya teralih menuju Kuwana, seperti sedang keluarkan sinyal agar gadis itu mengiyakan ucapan Marie. Kuwana masih ingin hidup tenang, jadi ia mengangguk sambil keluarkan tawa karir. "Iya," Kuwana mengacungkan jempolnya, "Baik banget. Gak pernah marah."

Tuhan, maafkan Kuwana yang berbohong. Dirinya hanya ingin selamat.

"Terus kalau dosen yang kamu bilang lampir itu siapa? Barangkali Jarreth kenal juga." Kuwana ingin menjerit di tempat, Ya ampun Kak Marie! Lampirnya itu ya pria yang ada di samping kamu!

Sementara itu, Jarreth malah mengernyit, "Lampir? Siapa?"

"Itu katanya ada dosen yang ngeselin banget, sukanya marah marah terus killer. Mana suka ngusir mahasiswanya keluar," jelas Marie. Masih memiliki 0% tingkat kepekaan. Kuwana sudah ingin mampus rasanya, sementara Jarreth malah termenung—sepertinya ia kenal sosok ini siapa.

Jadi Jarreth hanya tersenyum kecil hingga matanya menyipit ke arah Kuwana, "Siapa dosen lampir-nya, Kuwana?"

Kuwana menggeleng kecil, "Oh itu—Kak Marie, masih ada meja kosong gak ya? Temenku udah jalan deket, ternyata ada total 8 orang."

1 TO 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang