Ayah

44 11 0
                                    

Ayah: Luka Pertama

Aku masih ingat betul ketika pertama kali menyadari bahwa sosok yang seharusnya menjadi pelindungku justru menjadi sumber luka terdalam. Ayah, kata yang seharusnya membawa rasa aman dan nyaman, bagiku justru menjadi simbol ketakutan dan kesepian.

Sejak kecil, aku tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ketegangan. Ayahku adalah sosok yang keras dan otoriter. Setiap kesalahan yang kuperbuat selalu berujung pada hukuman fisik dan verbal yang kejam. Kata-kata kasar dan tatapan tajamnya seakan menusuk hatiku. Aku merasa tidak pernah cukup baik di matanya.

Aku ingat saat aku masih kecil, ketika aku berusaha untuk meraih sebuah mainan yang berada di atas lemari. Tanpa sengaja, mainan itu jatuh dan pecah. Bukannya menenangkanku, ayahku malah memarahiku dengan sangat keras. Ia menamparku berkali-kali dan menyuruhku untuk membersihkan pecahan mainan itu sendiri.

Seiring bertambahnya usia, luka itu semakin mendalam. Aku tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan pemalu. Aku takut untuk mengungkapkan perasaan dan pendapatku karena takut akan reaksi ayahku. Aku selalu berusaha untuk menjadi anak yang sempurna, namun semua usahaku terasa sia-sia.

Aku sering bertanya-tanya, mengapa ayahku bersikap seperti itu padaku? Apakah karena ia sedang mengalami kesulitan dalam hidupnya? Atau mungkin ia sendiri pernah mengalami hal yang sama dari orang tuanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, namun tak pernah ada jawaban yang memuaskan.

Luka yang diakibatkan oleh perlakuan ayahku telah meninggalkan bekas yang dalam di hatiku. Aku tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan keraguan dan rendah diri. Aku sulit untuk percaya pada diri sendiri dan selalu merasa tidak layak untuk mendapatkan hal-hal yang baik.

Hubungan kami pun menjadi renggang. Jarak di antara kami semakin melebar, seolah ada tembok tebal yang memisahkan kami. Aku berusaha untuk memaafkannya, namun luka itu terlalu dalam untuk sembuh begitu saja.

Namun, aku tidak ingin terus terjebak dalam masa lalu. Aku menyadari bahwa aku harus melepaskan diri dari belenggu masa lalu agar bisa hidup dengan lebih bahagia. Aku mulai mencari bantuan profesional untuk mengatasi trauma masa kecilku. Melalui terapi, aku belajar untuk menerima diriku apa adanya dan melepaskan harapan-harapan yang tidak realistis.

Aku juga belajar untuk memaafkan ayahku, bukan untuknya, tetapi untuk diriku sendiri. Aku menyadari bahwa ayahku juga manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelemahannya. Ia mungkin tidak pernah belajar cara menjadi seorang ayah yang baik.

Meskipun luka masa lalu masih terasa sakit, aku tidak akan membiarkannya menguasai hidupku. Aku akan terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan membangun hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarku.

Aku percaya bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, termasuk aku. Aku akan terus belajar dan tumbuh, dan suatu hari nanti, aku akan bisa benar-benar melepaskan diri dari bayang-bayang masa laluku.

Kamis, 31-10-2024

Aku, Kamu, Kita : Simfoni kehidupanWhere stories live. Discover now