Ibu: Luka Pertama :
Aku menatap cermin, wajah yang kini mulai menua memantulkan bayangan masa lalu. Senyum tipis terukir, pahit sekaligus getir. Dalam kedalaman mata, tersimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Luka itu, aku sadari, berasal dari sosok yang paling aku cintai sekaligus yang paling menyakitiku: ibu.
Ibu, kata yang begitu indah, namun bagiku terasa begitu asing. Dalam kamus hidupku, kata itu lebih sering diartikan sebagai sumber penderitaan daripada kasih sayang. Sejak kecil, aku tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi oleh tuntutan dan harapan yang tak pernah terpenuhi. Setiap langkahku selalu diawasi, setiap kesalahanku selalu dibesar-besarkan.
Aku ingat betul saat aku masih kecil, ketika aku mendapatkan nilai yang kurang memuaskan dalam ulangan. Bukannya mendapat dukungan dan semangat, yang kudapat justru adalah omelan panjang lebar dan tatapan kecewa dari ibu.
"Kamu ini bodoh! Bagaimana bisa dapat nilai segitu?" kata-katanya menusuk hatiku seperti ribuan jarum.
Seiring bertambahnya usia, luka itu semakin mendalam. Aku merasa seperti tidak pernah cukup baik di mata ibu. Aku selalu berusaha keras untuk mendapatkan pujiannya, namun semua usahaku terasa sia-sia. Aku seperti hidup dalam bayang-bayang kesempurnaan yang ia harapkan.
Aku sering bertanya-tanya, mengapa ibu bersikap seperti itu padaku? Apakah karena ia terlalu mencintaiku sehingga menjadi terlalu keras? Atau mungkin ia sendiri pernah mengalami hal yang sama dari orang tuanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, namun tak pernah ada jawaban yang memuaskan.
Luka yang diakibatkan oleh perkataan dan tindakan ibu telah meninggalkan bekas yang dalam di hatiku. Aku tumbuh menjadi pribadi yang penuh keraguan dan rendah diri. Aku sulit untuk percaya pada diri sendiri dan selalu merasa tidak layak untuk mendapatkan hal-hal yang baik.
Hubungan kami pun menjadi renggang. Jarak di antara kami semakin melebar, seolah ada tembok tebal yang memisahkan kami. Aku berusaha untuk memaafkannya, namun luka itu terlalu dalam untuk sembuh begitu saja.
Namun, aku tidak ingin terus terjebak dalam masa lalu. Aku menyadari bahwa aku harus melepaskan diri dari belenggu masa lalu agar bisa hidup dengan lebih bahagia. Aku mulai mencari bantuan profesional untuk mengatasi trauma masa kecilku. Melalui terapi, aku belajar untuk menerima diriku apa adanya dan melepaskan harapan-harapan yang tidak realistis.
Aku juga belajar untuk memaafkan ibu, bukan untuknya, tetapi untuk diriku sendiri. Aku menyadari bahwa ibu juga manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelemahannya. Ia mungkin tidak pernah belajar cara mengungkapkan kasih sayangnya dengan cara yang tepat.
Meskipun luka masa lalu masih terasa sakit, aku tidak akan membiarkannya menguasai hidupku. Aku akan terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan membangun hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarku.
Aku percaya bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, termasuk aku. Aku akan terus belajar dan tumbuh, dan suatu hari nanti, aku akan bisa benar-benar melepaskan diri dari bayang-bayang masa laluku.
Selasa, 29-10-2024
YOU ARE READING
Aku, Kamu, Kita : Simfoni kehidupan
PoetryPernahkah kamu merasa ada yang kurang dalam hidupmu? Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa kamu merasa seperti ini atau seperti itu? Mungkin saja jawabannya terletak pada keluarga, tempat di mana kita pertama kali belajar tentang cinta, kehilangan...