#story14
(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE ACAK)
Apakah ada yang percaya dengan cinta pada pandangan pertama? Beberapa orang mungkin berpikiran jika ungkapan tersebut sangat mustahil, karena cinta butuh waktu untuk tumbu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Arona memasangkan headset di telinganya, mendengarkan musik keras-keras ketika Ratna tidak berhenti mengomel dengan suara kencang dari luar. Jika hanya mengomel biasa, Arona masih bisa menahannya. Tapi, kali ini, Ratna sudah kelewatan dengan menuduhnya yang tidak-tidak. Arona membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi telungkup, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong.
Sepertinya, Arona benar-benar membutuhkan tempat yang aman demi menjaga kewarasannya. Terus tetap berada di rumah ini hanya membuat batinnya tertekan, kebahagiaannya perlahan di lahap oleh Ratna. Kakak iparnya itu memiliki berbagai prasangka buruk tentangnya, dan tidak pernah mempercayai satu pun perkataannya.
Omelan Ratna samar-samar masih menembus ke telinganya. Suara musik masih kurang keras. Arona mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, dia bisa gila lama-lama. Arona mengetikkan sebuah pesan singkat kepada Salma, meminta temannya itu untuk menjemputnya malam ini juga.
Arona Jemput gue, please. Gue mau keluar dari rumah. Jangan tanya dulu, kalau lo bisa jemput, jemput gue, Sal.
Salma Otw
Arona bangkit dari posisi rebahannya saat membaca balasan pesan dari Salma. Dia melepaskan headset yang terpasang di telinganya, membiarkan suara Ratna menembus masuk ke gendang telinganya. Arona beralih ke arah lemari, memasukkan semua baju yang dia punya ke dalam koper. Dia sudah bertekad untuk meninggalkan rumah ini malam ini juga, dan mengabarkan Adit nanti.
"Hidup kamu bebas banget! Sia-sia aku jagain kamu selama ini. Kamu enggak malu sama tetangga?! Pulang di antar laki-laki." Ratna kembali mengomel. Perempuan itu duduk di sofa ruang tamu, dan dia yakin Arona mendengarkan suaranya.
Ratna berdecak. "Alasan jadi sekretaris segala, bilang aja jadi simpanan om-om." Ratna bergidik ngeri. "Aduh, ngeri banget sama anak jaman sekarang. Kalau Mas Adit tahu, kecewa dia sama kamu! Untung aja aku baik, enggak ngasih tahu Mas Adit."
Arona menggigit bibir bawahnya. Sembari memasukkan semua barang-barangnya ke dalam koper, dia harus menahan rasa sesak di dadanya. Arona terduduk di dekat kopernya, menutup koper itu dengan pikiran yang berkecamuk. Setetes air mata jatuh di pipinya. Ucapan dari Ratna mampu menyakitinya. Ucapan itu setajam silet, mampu mengoyak hati Arona.
Arona tidak lagi mendengar suara Ratna dari luar. Mungkin, Ratna capek sendiri mengomel sedari tadi. Arona bangkit dari duduknya, menepis air mata yang jatuh di pipinya. Arona memperhatikan kamar yang dia tempati selama ini. Mulai hari ini, kamar ini bukan lagi menjadi kamarnya. Dia akan meninggalkan rumah yang hanya memberikan rasa sakit kepadanya.
Bukan rumahnya yang salah, melainkan penghuni yang ada di rumah itu. Baru pertama kali Arona pulang di antar laki-laki, Ratna sudah menuduhnya sebagai perempuan yang memperjual belikan dirinya. Arona menghela napas panjang, kemudian menarik kopernya keluar kamar.