- 15

391 63 21
                                    

Untungnya Halilintar dan Papa Zola ikut melaksanakan kerja bakti untuk mereparasi bangunan panti. Jadi, kami punya tenaga tambahan.

"Kesimpulannya, kamu beneran pilek?" Aku menonton Halilintar beratraksi dengan penlightnya. Dia menembak cahaya dari penlight itu, dan mengarahkannya pada pupilnya Sori.

Kami sedang duduk di bench. Dan tiba-tiba, Sori mengeluhkan hidungnya yang mampet, disertai febris dan rasa lelah berlebih. Mumpung ada Halilintar, dia langsung diperiksa.

"Tidak apa-apa. Pilek biasa," Halilintar mengonfirmasi, setelah dia selesai memeriksa mulutnya Sori, dan menyelesaikan pemeriksaan singkatnya. Sori didudukannya di pangkuannya.

"Obatnya ada dua, 'kan?" Kata Halilintar memastikan dengan bertanya pada Sori.

Papa Zola dan aku memerhatikan percakapan Halilintar, memahami cara-caranya dalam membujuk anak kecil untuk diperiksa, dan strategi jitunya agar Sori mau meminum obat.

Tangan Papa Zola meraih kue kering buatannya Ying, dan memasukkannya ke mulut. Kunyahannya terdengar renyah di telingaku. Kami begitu sibuk menonton mini sinemanya Halilintar dan Sori. Aku juga agak heran, ternyata Halilintar mampu menekan tempramennya kalau sedang mewajahi anak-anak. Buktinya, Sori, si berandalan satu itu, ujung-ujungnya mau diperiksa, walau dia takut stetoskop dan jarum suntik—kata Sori, Sori sudah divaksin sebelas kali, jadi dia cukup berpengalaman berurusan dengan jarum suntik; dia tahu betapa sakitnya disuntik. Bahkan Sori bilang, 'jangan bunuh aku, Dokter. Aku akan mati sebagai apapun kecuali pasienmu' sambil menangis tersedu-sedu. Ingusnya keluar sedikit.

"I-iya," Sori memandang ke meja kayu yang memisahkan bangkunya Halilintar dan bangkuku di sebelah sosok Papa Zola. Di meja itu, Halilintar menyimpan obatnya. Ada dua plastik obat. Warnanya transparan. Kedua obatnya tergeletak di sana dalam sediaan tablet.

"Kalau Paman Maripos menyuruh minum obat, kamu harus mau," kata Halilintar, pelan-pelan. Okelah, Halilintar mungkin berupaya keras menjadi beramah-tamah, jadi dia menurunkan oktaf bicaranya, bicara seraya menarik senyum palsu, dan tidak menunjukkan gelagat psikopat—dia menyembunyikannya sejenak.

"I-iya." Sori sejujurnya membenci obat. Rasanya pahit, begitu tuturnya, nanti ketika Halilintar sudah pergi; ya, benar, aku meramal masa depan, dan kupastikan dia akan menggerutu, entah pada siapa. Tapi kemudian, Sori berpotensi melanggar janjinya. Meh. Bocil kematian. Aku tahu sifat aslinya.

Waktu itu di resor hutan lindung, aku meminumkan para anak panti suplemen vitamin. Aku merasa, mereka butuh energi adisional, makanya aku mencekoki mereka obat kapsul. Rasanya tidak pahit. Kemasannya menarik, bintang iklannya cantik, dan warna kapsulnha pink serta putih. Tapi Sori diam-diam memuntahkan kapsulnya ke toilet. Aku tahu. Dia cukup berandalan. Ya ampun.

"Waktu itu kamu memuntahkan suplemen vitamin C yang aku berikan ke toilet. Tapi toiletnya lupa diflush." Aku memperingati Sori di depan Halilintar. Kebiasaan buruknya tidak boleh berlanjut, karena itu membahayakan kesehatannya. Budaya minum obat jarang disukai, dan selalu diterima buruk oleh anak-anak. Tapi pada prinsipnya, mereka harus mengerti kebutuhan jasmaninya. Daripada Sori mencurangi obatnya dengan melepehkannya di halaman belakang panti atau di toilet, lebih baik aku membeberkan kelakuannya di depan muka dokternya. Kurang lebih, aku memang memanfaatkan ketakutan struktural Sori terhadap Halilintar, berharap Halilintar bakalan mengancamnya, dan alhasil, Sori jadi patuh.

"Enggak boleh begitu ya, Sori." Papa Zola ikut menyumbang aspirasi, masih sambil mengonsumsi kue keringnya Ying. Kue kering itu enak, renyah, tapi mengandung kacang yang dihaluskan ke bentuk bongkahan tak beraturan. Aku menahan diri untuk tidak memakannya, karena aku takut, gigiku terdampak akibatnya.

"Apa sakitku cepat sembuh kalau minum obat?" Sori mendongak pada Halilintar, menatapnya penuh pengharapan.

"Iya." Jawab Halilintar, singkat.

Blaze x Reader | Harvest Moon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang