- 18

359 54 49
                                    

Aku bertekuk lutut, kepalaku tetunduk mengadap lantai keramik berpetak-petak seperti papan catur hitam-putih, tanganku menyatu bak pose menghormat, dan mataku terpejam khidmat seakan aku begitu segan akan situasi di sekitarku. Aku segan. Aku tidak bohong. Aku berani sumpah. Kakiku sampai gemetaran. Ini diperparah oleh lambungku.

Aku berada di ruangan yang sejujurnya agak pengap, karena pemiliknya hanya membersihkannya pada dua momen krusial pada setiap tahunnya; pertama, jika ibunya marah-marah dan menyuruhnya beres-beres, dan kedua, kalau lebaran sudah dekat. Yaya memang begitu. Memegang kemoceng bukanlah passion Yaya. Oh ya, Yaya juga tidak berpassion dalam mencari uang dan menafkahi dirinya sendiri. Bekeringat bukan passionnya. Belajar—okelah, itu passionnya. Memasak? Jelas-jelas passionnya! Mengajari aku memasak? Tidak. Mengajariku memasak bukan passionnya Yaya, tapi karena keadaan memaksanya—dan aku serta-merta mengancamnya—Yaya akhirnya bersedia mengguruiku memasak.

Yaya datang ke ruangan itu, ke ruangan dimana aku sedang bertekuk lutut di lantai, menunggu kedatangannya.

Yaya menyilang tangan di atas dada, dan menatapku penuh pertanyaan, "jadi, kamu datang ke sini setelah tiba-tiba menikah dengan pemuda pelosok negri, dan memintaku mengajarimu memasak, supaya suamimu yang katanya bersuku-kebangsaan ayam itu lebih menyukai kamu?"

Yaya kurang yakin pada pilihanku. Aku tahu. Aku mengenali Yaya, dan Yaya pun demikian. Dia mampu menilaiku dengan baik. Setelah merintis karir bersamaku selama beberapa tahun terakhir, Yaya tahu betapa idiotnya aku. Yaya tahu selera busanaku bagus. Tapi selera laki-lakiku tidak! Yaya acap kali memergoki aku membalas direct message dari laki-laki asing di media sosialku, padahal mereka semua perlu dipertanyakan latar belakangnya, mereka minta potret bugil, postingan mereka rata-rata tentang judi online, mereka memfollow artis seksi Jepang, dan mereka tidak punya kredibilitas—orang seperti aku tak punya fandom besar, toh, aku seorang coach sekaligus analyst, jadi popularitasku tak setinggi roster di line up utama time e-sport ini. Tapi coach tetaplah coach. Aku memiliki pasarku sendiri. Tak ayal apabila ada lusinan pria di inboxku. Tapi seharusnya, aku mengabaikannya saja, bukannya meladeni mereka. Tolong jangan tanya kenapa. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku buta, ceroboh dalam memilih teman bicara, dan begitu bodoh untuk tidak menyadarinya.

Dan sekarang aku sudah menikah? Bayangkan saja. Yaya pasti menganggap aku setengah sinting, karena aku menikah tanpa meminta pendapatnya.

Yaya tidak merasa perlu berbuat begitu andai aku bisa bekerja secara mandiri dalam memilih pendamping hidup. Tapi kenyataannya tidak. Yaya takut aku menikahi gelandangan, menikahi koruptor, dinikahi sebagai istri kelima, dinikahi imigran gelap yang identitasnya tak terdeteksi di kantor catatan penduduk sipil, atau dinikahi untuk diekspolitasi. Aku tahu kegelisahannya. Tapi kondisiku lumayan rumit. Aku tak bisa mengungkapkan satu dan lain hal di balik pernikahanku.

Mau bagaimaana lagi? Waktu itu, Yaya berhalangan hadir di pernikahanku, karena dia harus mengurusi turnamen khusus roster perempuan. Permintaan cutinya juga ditolak keras oleh bosnya. Jadi, Yaya tidak tahu seperti apa rupa suami baruku, Yaya tidak bisa mengecek apa Blaze benar-benar mirip dengan ayam atau tidak, dan mencari tahu apa yang menjadikannya menarik di mataku.

"Ampuni aku, Guru." Aku mengeratkan tautan kedua tanganku. Tangan kananku menggenggam erat, sedangkan tangan kiriku membungkus kepalan tangan kananku. Selaku upaya untuk menghormati, memuliakan, dan meninggikan derajat sang guru memasak, aku rela bertingkah begini. Lagi pula Yaya itu rese dan banyan maunya. Sulit membujuknya dalam situasi begini.

"Panggil aku Your Majesty." Yaya mengendikkan bahu. Dia sebenarnya tak sudi mengajariku memasak karena dia masih kesal; aku tak mengontaknya, tidak meminta restu darinya, dan tidak menyuruhnya mempertimbangkan Blaze. Aku mengerti. Bukannya apa. Yaya mengecap aku bodoh, dan hampir semua orang di game house membenarkan opininya Yaya terhadap kepribadianku.

Blaze x Reader | Harvest Moon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang