Hujan Interlagos mengguyur tanpa henti, membasahi jendela kamar hotel yang berembun. Di dalam, kegelapan hanya dipecahkan oleh cahaya redup lampu kota dan kilatan notifikasi ponsel yang tak berhenti bergetar di atas nakas. Jeff berbaring di tempat tidur yang masih rapi–dia bahkan belum mencoba untuk tidur. Racing suit masih tergeletak sembarangan di lantai, helm dengan cat metalik merah berdiri di meja, seperti saksi bisu dari kualifikasi yang berantakan hari ini.
P5.
Angka itu terasa seperti tamparan. Berapa kali Ferdinand sudah mengingatkan: Gautama tidak selesai di bawah podium.
Ponselnya bergetar lagi. Nama MJ muncul di layar, foto mereka di Monza menyala dalam kegelapan–MJ tertawa dengan sampanye di tangan, Jeff menatapnya seperti dia adalah satu-satunya orang di dunia. Sekarang foto itu terasa seperti pengingat dari masa yang lebih sederhana, sebelum cinta menjadi ancaman dan perasaan menjadi kelemahan.
10 missed calls. 23 unread messages.
Jeff memejamkan mata, tapi bayangan MJ tetap menghantuinya. Bagaimana dia selalu menyelipkan sticky notes afirmasi di celana yang sering Jeff pakai sebelum balapan. Bagaimana dia tahu persis kapan Jeff butuh pelukan dan kapan dia butuh jarak. Bagaimana dia bisa membaca Jeff lebih baik dari siapapun–bahkan saat Jeff sedang berakting. Suara ketukan lembut di pintu memecah lamunannya.
"Hei."
Suara yang terlalu familiar itu membuat bahunya menegang. MJ berdiri di ambang pintu, masih mengenakan teamwear Cavallino yang kebesaran di tubuhnya—hoodie yang dia curi dari lemari Jeff minggu lalu. Rambutnya diikat asal, dan senyumnya—senyum yang selalu berhasil membuat Jeff lupa caranya bernapas.
"Hei," Jeff membalas pendek, matanya kembali ke pemandangan sirkuit.
"You missed debrief," MJ melangkah mendekat, tapi Jeff bisa mendengar keraguan dalam langkahnya. "Tony daritadi nyariin kamu."
"Ada yang perlu aku kerjain."
"Oh." MJ berhenti beberapa langkah darinya.
"Everything okay?"
Tidak, Jeff ingin berteriak. Nothing's okay. I'm falling for you and my father will destroy you if I don't stop.
"Fine," jawabnya dingin. "Just need some space."
Dia bisa merasakan MJ terkejut dengan nada suaranya. Selama berbulan-bulan terakhir, Jeff tidak pernah bicara sedingin ini padanya.
"Space?" MJ mengulang pelan. "From what?"
From you. From these feelings. From everything that makes me want to choose you over everything else.
"Just... space," Jeff mengangkat bahu, masih menolak menatap MJ. "Been feeling overwhelmed lately."
"Apa ini karena kualifikasi tadi? Karena P5 itu nggak—"
"Nggak semuanya tentang balapan, MJ."
Keheningan yang menyusul terasa menyesakkan. Jeff bisa membayangkan ekspresi bingung di wajah MJ–bagaimana alisnya berkerut sedikit, bagaimana dia menggigit bibir bawahnya seperti yang selalu dia lakukan saat cemas.
"Did I..." MJ ragu sejenak. "Did I do something wrong?"
Pertanyaan itu seperti pisau di dada Jeff. Karena tentu saja MJ akan berpikir ini salahnya. Tentu saja dia akan mencari kesalahan dalam dirinya sendiri.
"No," Jeff memaksa suaranya tetap datar. "I just need time to focus on championship."
"Oh." Ada sesuatu yang pecah dalam suara MJ. "Okay. I'll... I'll give you space then."
Jeff mendengar langkah MJ mundur perlahan. Setiap langkah terasa seperti sayatan kecil di hatinya.
"Just..." MJ berhenti sejenak. "You know you can talk to me, right? If something's bothering you?"
That's the problem, Jeff ingin berbisik. You make me want to tell you everything.
Tapi dia hanya mengangguk kaku, masih memandang langit yang kini mulai diwarnai semburat senja.
Langkah kaki MJ akhirnya menghilang, meninggalkan Jeff sendirian dengan pikirannya yang berkecamuk. Ponselnya bergetar lagi–email baru dari Ferdinand dengan lebih banyak ancaman terselubung. Rintik hujan mulai turun, seolah langit Interlagos ikut menangisi apa yang harus Jeff lakukan. Besok, dia harus lebih dingin lagi. Besok, dia harus mendorong MJ lebih jauh. Besok, dia harus membuat MJ membencinya sebelum Ferdinand sempat menghancurkannya. Karena kadang, mencintai seseorang berarti melindungi mereka dari dirinya sendiri walaupun mungkin harus menghancurkan dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/377730712-288-k866928.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomansaMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...