Abu Dhabi, United Arab Emirates.
Dering ponsel memecah keheningan kamar hotel MJ di Abu Dhabi. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 2 pagi, terlalu larut untuk telepon biasa. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berhenti sejenak: Adeline.
Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali PR manager Jeff itu menghubunginya. Sejak pengumuman putus mereka di media sosial, sejak semua kebenaran tentang Jeff dan Arlo terungkap, Addie menghormati keinginan MJ untuk menjaga jarak."Hello?" MJ menjawab, suaranya serak.
"MJ," suara Addie terdengar lelah. "I know it's late, but... Jeff needs you."MJ merasakan dadanya sesak. "Addie—"
"Please, just hear me out," Addie memotong cepat. "He's not okay. He's making mistakes, snapping at engineers..." Addie menghela napas. "This is the biggest race of his career, and he's falling apart."
MJ bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela. Lampu-lampu Yas Marina berkilau di kejauhan, sirkuit tempat besok championship akan dipertarungkan. Dimana Jeff akan mencoba memenangkan gelar juara dunianya yang keempat.
"Kamu mau aku ngapain Addie?" MJ bertanya pelan.
"Ngomong sama dia. Sebelum kualifikasi besok."
"He had his chances, Addie," MJ memejamkan mata. "He chose to push me away instead."
"Because he was trying to protect you!" Addie berseru frustasi. "From Ferdinand, from the media, from—"
"From the truth?" MJ memotong. "About him and Arlo being brothers? About how his father destroyed their family?"
Keheningan menyusul. "How did you—"
"Arlo told me everything," MJ mengaku. "Di Paris. Dan tahu apa yang lebih cukup menyakitkan? Bukan rahasianya. Bukan ancaman Ferdinand. Tapi fakta bahwa Jeff nggak cukup percaya sama aku untuk cerita semuanya."
"Dia takut," Addie berbisik.
"Dan aku enggak?" MJ tertawa getir. "Aku membiarkan dia masuk, Addie. After everything with Arlo, after all the walls I built... I trusted him. And he just..." suaranya pecah, "he threw it all away."
Dari jendela, MJ bisa melihat tim mulai berdatangan di paddock, mempersiapkan segalanya untuk race weekend. Di suatu tempat di sana, Jeff mungkin juga sedang mempersiapkan diri untuk balapan terpenting dalam karirnya.
"Dia sayang sama kamu," Addie akhirnya berkata. "Lebih dari pertandingan, lebih dari kejuaraan... lebih dari apapun."
"Cinta nggak cukup kalau nggak disandingi oleh kepercayaan."
"Kasih dia kesempatan untuk dapetin kepercayaan kamu lagi," Addie memohon. "Ini yang terakhir kali. Sebelum semuanya selesai besok."
MJ menutup mata, membiarkan air matanya jatuh. Karena bagaimana dia bisa menjelaskan pada Addie bahwa yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa sebagian dari dirinya masih mencintai Jeff? Masih ingin mempercayainya? Masih berharap ada penjelasan untuk semua ini?
"I'll think about it," MJ akhirnya berkata.
"That's all I ask," Addie menghela napas lega. "And MJ? For what it's worth... I've never seen him love anyone the way he loves you."
Setelah menutup telepon, MJ berdiri lama di depan jendela. Lampu-lampu paddock mulai menyala satu persatu, seperti bintang-bintang yang menuntun jalan pulang. Tapi bagaimana kalau 'pulang' berarti kembali ke seseorang yang telah menghancurkan kepercayaanmu?
Oliver Kennedy: don't stay up late, kamu harus dukung aku di garasi aku besok.
MJ tersenyum melihat pesan dari Oliver. Alasan saat ini dia berada di Abu Dhabi bukan untuk Jeff. Dia akan mendukung adiknya, seperti yang seharusnya dia lakukan sejak awal.
***
Suasana garasi Oliver terasa berbeda pagi itu. MJ duduk di salah satu kursi mekanik, matanya mengikuti aktivitas tim yang sibuk mempersiapkan mobil untuk kualifikasi. Ada kenyamanan aneh yang dia temukan di sini—jauh dari segala hal yang mengingatkannya pada Jeff.
"Kamu yakin nggak apa-apa di sini?" Oliver bertanya untuk kesekian kalinya, race suit Cavallino-nya sudah terpasang sempurna. "Aku bisa minta Naomi untuk temenin kamu kalau mau."
"Cie, adik aku yang satu ini udah punya pacar aja," MJ menatapnya jenaka lalu menggeleng, memaksakan senyum. "I'm fine, Ollie. Fokus sama FP3 aja."
"Apa sih, Kak." Oliver tersenyum malu. "Kamu tahu kan Jeff akan kelihatan dari sini dan mungkin lewat?" Oliver duduk di sampingnya.
"Aku tahu," MJ menghela napas. "Tapi aku nggak bisa terus-terusan sembunyi. At some point, aku harus—"
Seolah dipanggil oleh kata-kata Oliver, sosok Jeff muncul di ujung pit lane. Dia berjalan dengan tim engineers-nya, tampak serius mendiskusikan sesuatu. MJ merasakan jantungnya berhenti sejenak saat mata mereka tidak sengaja bertemu.
"Aku tinggal ya?" Oliver meremas bahu kakaknya sebelum beranjak, memberi mereka privasi.
Selama sepersekian detik, topeng Jeff runtuh. Ada kerinduan yang begitu nyata di matanya, begitu mentah, sebelum dia berpaling cepat dan mempercepat langkahnya."I can't do this anymore," MJ bangkit. Sesuatu dalam dirinya akhirnya pecah—semua kesabaran, semua pengertian yang dia tahan selama ini.
"MJ—"
Tapi MJ sudah melangkah keluar garasi, mengikuti Jeff yang kini berjalan sendirian menuju motorhome Cavallino.
"Jeff!"
Jeff berhenti, tapi tidak berbalik.
"Kamu pikir sampai kapan kita bisa kayak gini?" MJ bertanya, suaranya bergetar. "You avoiding me, aku pura-pura baik-baik aja? Kita terlalu dewasa buat seperti ini."
"Tolong," suara Jeff terdengar lelah. "Balik aja ke garasi Oliver."
"Enggak." MJ melangkah ke depan Jeff, memaksanya bertatapan. "Not until you look at me and tell me why. Why you didn't trust me enough to tell me everything?"
"Kamu tahu kenapa," Jeff mencoba menghindar, tapi MJ menghalangi jalannya.
"Ya, benar. Ferdinand mengancam kamu dengan keluarga aku. Big deal." MJ tertawa getir. "Kamu tahu apa yang lebih sakit dari itu? Fakta bahwa kamu ngira aku nggak bisa menrima kenyataan. Bahwa kamu lebih memilih semua yang kita miliki daripada jujur sama aku."
"Aku udah bilang Michelle Jane. Aku coba ngelindungin kamu!"
"Dari apa?" MJ hampir berteriak. "Dari tahun tentang ibu kamu ternyata seorang jurnalis? Amelia Koesnadi? Kalau ternyata keluarga kamu tidak sesempurna yang dipikirkan semua orang? News flash, Jeff—I never wanted perfect. I wanted real. I wanted you."
Jeff akhirnya menatapnya, dan MJ bisa melihat pertarungan di matanya. "Kamu nggak ngerti—"
"Aku bilang, buat aku ngerti!" MJ mengambil langkah maju. "Karena sekarang, yang aku lihat cuma seorang pengecut yang terlalu takut untuk ngaku kalau dia juga punya perasaan."
"Of course I have feelings!" Jeff akhirnya meledak. "Every single day, it's killing me seeing you like this. Knowing that I hurt you, that I—" dia berhenti, menelan ludah. "Tapi aku nggak bisa seperti yang kamu butuhin. Aku nggak bisa jadi apa yang pantas buat kamu."
"That wasn't your decision to make," MJ berkata lembut. "You don't get to decide what I deserve or what I can handle. Dan kamu nggak punya hak untuk mutusin semuanya melalui media sosial tanpa bilang apa-apa ke aku."
Jeff memejamkan mata, seolah kata-kata MJ menghantamnya secara fisik. "Maafin aku."
"Maaf nggak cukup," MJ menggeleng. "Aku butuh kamu jujur, Jeff. For once in your life, be brave enough to be honest."
"Aku nggak bisa," Jeff mundur. "Please, just... leave it alone."
MJ menatapnya lama, air mata yang ditahannya akhirnya jatuh. "Fine. Keep running. Keep hiding behind your fears. Tapi inget ya—aku di sini sekarang nawarin kamu untuk memperbaiki segalanya. Dan kamu? Kamu milih untuk jadi pengecut."
Dengan itu MJ berbalik, meninggalkan Jeff dengan semua kebenaran yang tidak berani dia akui. Di belakangnya, suara mesin F1 mulai mengaum, tapi entah kenapa, suara yang paling keras adalah keheningan Jeff yang memilih untuk tidak mengejarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomansMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...