❤️🔥510 votes, 100 comments for next chapter❤️🔥
—
Langit Paris berwarna kelabu tipis sore itu, menyisakan sisa gerimis yang membasahi jalan-jalan berbatu khas Rue Cler, sebuah jalan kecil di jantung kota yang penuh pesona. Sepeda-sepeda terparkir di dekat lampu jalan, dan orang-orang berjalan perlahan, membungkus diri dalam mantel untuk melawan udara dingin.
MJ membuka pintu kafe kecil yang terletak di sudut jalan. Bel berbunyi pelan saat pintu kaca itu bergeser. Kafe itu memiliki atmosfer khas Paris: meja-meja kecil dari kayu dengan kursi anyaman, sebagian besar sudah ditempati oleh pasangan yang bercakap-cakap dengan bahasa Perancis atau seorang diri dengan secangkir cokelat panas dan buku.
MJ melangkah masuk, melirik sekeliling sebelum menemukan Arlo duduk di meja di dekat jendela. Meja itu dikelilingi oleh tanaman hijau kecil dalam pot keramik, memberikan sedikit warna di ruangan yang didominasi oleh palet kayu dan krem. Dari tempat duduknya, Arlo memandang keluar ke jalan, mengamati orang-orang berlalu lalang dengan tangan menyilang di depan dadanya.
Dia mengenakan kemeja linen Loro Piana biru dongker dengan lengan yang digulung sampai siku, berpadu dengan celana chino abu-abu yang rapi namun santai. Sebuah jam tangan Breitling melingkar di pergelangan tangan kirinya, dan di meja depannya ada secangkir cappuccino, dengan buih susu yang membentuk pola daun.
Ketika MJ mendekat, Arlo menoleh. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, bukan senyuman lebar penuh semangat, tapi cukup untuk menunjukkan dia senang melihatnya. Dia berdiri sejenak, memberi isyarat sopan dengan tangan sebelum kembali duduk.
"What a nice place," ucap MJ tersenyum seraya memerhatikan ke sekelilingnya kemudian menatap Arlo.
Arlo mengangguk, matanya masih memperhatikan MJ saat dia duduk di seberangnya. "Itulah alasan kenapa aku ngajak kamu ke sini. Ambiensnya tenang, nggak ramai orang."
Seorang pelayan datang dengan langkah tenang, membawakan MJ segelas air putih dan mengambil pesanannya. Setelah itu, MJ bersandar di kursinya, matanya menatap Arlo dengan penuh rasa ingin tahu.
"Gimana kabar kamu?" tanya MJ, membuka percakapan dengan nada ringan. "How's Eagle Racing treating you so far?"
Arlo tersenyum kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Baik-baik aja. Eagle Racing... penuh tantangan, tapi aku belajar banyak. Kita nggak kayak tim besar, ya kamu tahulah di midfield team, tapi aku sejauh ini suka suasananya. Feels like family."
MJ mengangguk, senang mendengar nada puas di suaranya. "Sounds like it's been good for you. Eleanor pasti bangga sama kamu."
"Kamu udah banyak berubah," Arlo memulai. "In a good way."
MJ tertawa kecil. "Moving on tends to do that to people."
"I'm sorry," kata Arlo tiba-tiba. "For everything. For how things ended, for not being honest... for hurting you."
Kata-kata yang dulu MJ tunggu-tunggu, sekarang terdengar seperti konfirmasi yang dia tidak lagi butuhkan. "Aku juga," dia mengaku. "Aku juga nggak sempurna. Aku terlalu sibuk sama karir aku, terlalu posesif, terlalu takut kehilangan sampai lupa cara mencintai dengan benar."
Arlo mengangguk pelan, "Aku berbeda sekarang. Aku bahagia, I finally found the right one, MJ."
MJ tersenyum tipis dan mengangguk. "I can see that. Kamu banyak berubah juga dan aku pikir Eleanor emang cocok sama kamu,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five
RomanceMichelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbakat dengan reputasi buruknya di luar trek, berad...