32: The Stuggles

3.9K 494 63
                                    

Jeff menatap kosong ke arah balapan F2 dari balkon motorhome, tapi pikirannya melayang jauh—lima tahun ke belakang, ke malam di mana Samantha mengembalikan cincin pertunangannya. Memori yang selama ini dia kubur dalam-dalam, kini mencuat kembali seperti luka lama yang terbuka.

"Aku nggak bisa melakukan ini semua lagi, Jeff," suara Samantha terngiang jelas, seolah baru kemarin dia mengucapkannya. "Keluarga kamu, semua drama ini... it's too much."

Hari itu, Jeff belajar bahwa cinta saja tidak cukup. Bahwa kebenaran tentang keluarganya—tentang ibunya, tentang Tasmeera, tentang semua kebohongan yang dibangun Ferdinand—bisa menghancurkan hubungan paling kuat sekalipun.

"Jeff?"

Suara Addie menariknya kembali ke realita. PR managernya itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang dia kenal—campuran antara khawatir dan frustrasi.

"Lo tahu nggak?" Addie melangkah mendekat, "Kadang lo sangat mirip bokap lo."

Jeff menoleh tajam. "Don't."

"Nggak, dengerin gue," Addie bersandar di railing sebelah Jeff. "Ferdinand selalu mikir dia tahu yang terbaik untuk semua orang. Membuat keputusan untuk orang lain karena dia pikir itulah satu-satunya cara untuk melindungi mereka." Dia menatap Jeff lekat-lekat. "Sound familiar?"

"Ini beda, Addie."

"Masa?" Addie menggeleng pelan. "Lo menghindari MJ karena lo pikir itu yang terbaik buat dia. Bahkan tanpa memberinya kesempatan untuk memutuskan sendiri."

Jeff mencengkeram railing sampai buku-buku jarinya memutih. Kalau saja Addie tahu. Kalau saja dia bisa menjelaskan tentang ancaman Ferdinand, tentang file-file yang bisa menghancurkan keluarga Kennedy dalam sekejap.

"Dia pantes dapetin yang lebih baik dari gue, Addie," Jeff akhirnya berkata, mengulang kalimat yang jadi mantranya beberapa hari ini.

"Lebih baik daripada seseorang yang mencintainya tapi melepaskannya?"

Jeff terdiam. Karena itu dia—mencintai MJ sampai ke titik di mana melepaskannya terasa seperti satu-satunya cara untuk menyelamatkannya.

"Tahu nggak apa yang lucu?" Addie melanjutkan, suaranya melembut. "Gue udah kenal lo lama, Jeff. And this thing with MJ? It's real. The realest I've ever seen you."

"That's the problem," Jeff berbisik. "It's too real."

"Dan itu buat lo takut?"

"Semua tentang dia buat gue takut," Jeff mengaku, matanya menerawang ke langit yang mulai gelap. "The way she sees through me, the way she makes me want to be better..." dia menelan ludah. "The way losing her feels like losing myself."

"Terus kenapa lo milih untuk menjauh dari dia?"

Because my father will destroy everything she loves, Jeff ingin berteriak. Because keeping her means watching her world burn.

Tapi dia hanya tersenyum pahit. "Sometimes love means protecting people from yourself."

"Lo salah," Addie menggeleng tegas. "Itu cuma ketakutan lo. Dan kalau gue boleh jujur? Itu egois namanya, Jeff."

"Egois?"

"Ya. Karena lo membuat keputusan ini untuk dia, seperti dia nggak cukup kuat untuk menangani apapun yang lo coba lindungi." Addie menghela napas. "MJ loves you, Jeff. Semua orang dengan mata telanjang bisa lihat itu. And you? You look at her like she hung the stars."

"Nggak lo—"

"Oh please," Addie mendengus. "Lo pikir gue nggak merhatiin cara lo lihat dia? The way your whole face lights up when she enters a room? How even in a crowd, she's always the first person you look for?"

Jeff memejamkan mata. Karena Addie benar—tentu saja dia benar. Setiap hal tentang MJ terasa seperti gravitasi yang menariknya tanpa henti. The way she laughs, the way she bites her lip when concentrating, the way she makes everything in his chaotic world feel... right.

"Dia buat gue menginginkan sesuatu yang nggak bisa gue miliki," Jeff akhirnya berkata.

"Kayak apa? Cinta? Kebahagian?"

"Hidup normal," Jeff berbisik. "Kehidupan di mana gue tidak—" dia berhenti, hampir membocorkan terlalu banyak.

"Apa?"

"Nggak," Jeff menggeleng. "Udah nggak penting lagi."

Addie menatapnya lama, dan untuk sesaat Jeff takut dia bisa melihat kebenaran di balik kata-katanya. Tapi kemudian dia hanya menghela napas.

"Mau tahu ironisnya?" Addie berjalan ke pintu. "Lo mendorong dia menjauh karena lo takut dia akan meninggalkan lo ketika tahu lo yang sebenarnya. Tapi dengan melakukan hal itu, lo membuktikan dia benar dalam satu hal."

"Satu hal apa?"

"Terkadang, orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti kita."

Dengan itu Addie pergi, meninggalkan Jeff dengan pikiran berkecamuk dan hati yang terasa seperti medan perang—di satu sisi ada MJ dan semua yang dia inginkan, di sisi lain ada ancaman Ferdinand dan semua yang harus dia lindungi.

310 votes, 100 comments for next update 🫶🏻😘

AN: MAAF it took so long to update bc aku lagi ada health issues, but then I can't wait till January 2025! nggak sabar reveal paket bukunya & cover novel MJEFFFF🫶🏻🫣🥰

Rule Number FiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang