Dirga menyungging senyum tipis. Dari arah berlawanan, matanya menangkap Alika dengan penampilan fresh perempuan tersebut. Kemeja kuning lime dipadupadankan dengan celana kain khaki, kontraks dengan kulitnya yang cerah. Tak lupa rambutnya diikat dengan ujung menjuntai keriting."Selamat siang, Pak." Sapanya begitu melewati Dirga.
Hanya sebatas itu. Di kantor sebisa mungkin mereka akan bersikap profesional.
Dirga mengangguk sebagai balasan kemudian memasuki lift untuk ke lantai atas. Sebelum pintu lift tertutup, ia melihat kembali perempuannya yang sudah semakin jauh. Pandangannya baru berpindah kala pintu itu tertutup rapat kemudian benda itu bergerak membawanya ke lantai yang dituju.
"Lo mau ikut?" tanya Pradipta begitu Dirga berjalan menuju ruangan lelaki itu.
"Kemana?"
"Mie ayam bude Karti."
"Sekarang?"
"Nanti, sepuluh tahun lagi." Pradipta berdecak, "Sekarang, lah! Udah masuk jam istirahat." katanya memindai waktu dipergelangan tangannya. "Mau nggak? Gue pergi sendiri kalau lo nggak mau. Eits, nggak boleh nitip!" lanjutnya.
Dari Dirga mengkerutkan dahi sejenak, lalu mengangguk kemudian, "Lo yang nyetir, gue malas."
"Gampang."
Lalu, kedua lelaki jakun itu jalan berdampingan, sesekali mengobrol santai di luar pembahasan pekerjaan. Pemandangan dua sejoli itu akan selalu menjadi daya tarik. Terbukti, banyak pasang mata yang memperhatikan keduanya berjalan.
***
Mie ayam bude Karti adalah warung mie ayam yang cukup terkenal di daerah tersebut. Tempatnya strategis dimana tepat diseberang ada lapangan futsal. Tak heran orang-orang yang sering main futsal disana paling tidaknya pernah mencicipi enaknya mie ayam itu. Termasuk Dirga dan Pradipta. Keduanya masih sering makan disana, dari zaman mereka masih sekolah hingga sekarang usia mereka sudah kepala tiga. Dulu keduanya sering bermain futsal setiap minggunya, lalu akan makan semangkuk mie ayam bude Karti sebelum pulang. Rutinitas itu yang membuat bude Karti beserta Beni anak sulungnya mengenal Pradipta dan Dirga sebagai dua sejoli yang awet.
"Lama nggak muncul, Mas." ujar Beni.
"Yo karena sibuk, to mereka." bude Karti menanggapi ucapan anaknya.
"Kalian sehat?" tanya bude Karti tersenyum.
"Sehat, bude. Alhamdulillah. Bude sendiri?"
"Bisa kamu lihat." Wanita tua itu mengangkat sebelah tangannya. "Bude walau sudah akhir lima puluh masih bisa angkat galon sendiri."
"Jangan percaya, Mas. Angkat ayam lima kilo aja ngeluh."
Pradita tertawa, "Jangan dipaksakan angkat berat, ya, Bude? Serahkan semua ke Mas Beni."
"Nah kan, dengerin itu." bude Karti mendumel sedangkan Beni menganga merasa sedang difitnah.
"Lho, aku nggak pernah maksain Ibu to buat ngangkat berat." Protes Mas Beni pada bude Karti.
Lalu perdebatan kecil itu berlanjut hingga Beni membawakan nampan berisi pesanan Pradipta dam Dirga. Tak lupa mengucapkan terimakasih, keduanya lantas memulai makan.
Ditengah kunyahannya, Pradipta membuka suara. "Minggu depan gue mau ke makam Anin."
Dirga tak menyahut, namun mata lelaki itu jelas mempertanyakan, 'ada apa?'.
"Dua hari yang lalu Letta mimpi ketemu Anin. Anin minta peluk, begitu Letta maju, Anin menghilang. Letta cerita ke Karin, baru tadi malam Karin ceritain ke gue dan ngajak buat ziarah. Mungkin Letta rindu, makanya sampai kebawa mimpi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbaliknya Dunia Dirga
Literatura Feminina. . . [Bisa Baca "Pak to be Mas" dan "After We're Together" lebih dulu biar paham ya, guys] (UNPUBLISH!!!)