VI

788 94 22
                                        

Balutan kemeja sifon berwarna mustard dengan celana kain berwarna cream menjadi outfit kerja Alika untuk memulai hari Senin yang padat ini. Tak lupa tas jinjing merk lokal yang ia gunakan untuk menaruh laptop serta perintilan lainnya selama ia bekerja. Lalu untuk kakinya, ia menggunakan flat shoes berwarna senada dengan celana kainnya.

Dibanding menggunakan alas kaki ber-hak tinggi, Alika lebih menyukai sesuatu yang dipijak dengan nyaman. Contohnya flat shoes dan sneakers.

"Senin yang cerah untuk nona Alika yang cantik. Selamat pagi, silahkan masuk dan selamat berbelanja."

Alika mencibir kelakuan aneh Bima yang sengaja membukakan pintu untuk dirinya ketika melihatnya dari kejauhan.

"Cerah apaan. Lo nggak lihat tuh diluar bentar lagi badai topan?" Alika menunjuk jendela yang memperlihatkan kondisi langit Jakarta yang berawan gelap.

"Bilang makasih kek kalau dipuji. Bukannya nyolot anjir" sahut Bima kesal.

"Ya lagian gue juga nggak minta dipuji. Lo muji gue apaan? Puji gue cantik? Orang gue udah cantik tanpa perlu lo puji" balas Alika lebih nyolot.

"Nye nye nye" Emang dasar si Bima Sakti emang paling sakti untuk memancing emosi Alika.

"Kualat lo sama orang yang lebih tua."

"Punten, mbah."

Sialan emang si Bima! Jika dulu Alika harus bersabar menghadapi kelakuan ajaib Satria, kini Tuhan memberikan pengganti yang jauh lebih ekstrim kelakuannya daripada si Satria Baja Pink. Tuhan sepertinya memang senang mengujinya dengan mengirimkan orang-orang sebleng agar bisa bersikap lebih sabar dan pemaaf.

"Lo ada titipan" ujar Bima ketika sudah duduk di kursinya.

"Titipan?" Tanya Alika bingung. "Dari siapa?"

Alika berjalan ke mejanya dan melihat sebuah pouch kecil berwarna abu. Ia menaruh tasnya di kursi dan membuka pouch tersebut. Alisnya mengkerut mendapati ikat rambutnya yang ada di sana.

Sebelum Bima menjawab, Alika sudah menebak.

"Dari Pak Dirga. Katanya ikat rambut lo ketinggalan di mobilnya" Bima berkata dengan tatapan menggoda. "Udah berapa lama lo, Lik?"

Alika menautkan Alis. "Maksud lo?"

"Pacaran sama Pak Dirga. Udah jalan berapa lama? Anjay, backstreet ya lo berdua? Bisa-bisanya gue nggak tau!"

"Jangan berasumsi aneh deh lo! Orang gue nggak pacaran sama dia. Ya kali gue doyan sama makhluk bongkahan es kutub utara. Mending jomlo deh gue sampe kepala tiga. Asal lo tau ya, Bim.. Pak Dirga tuh tipenya modelan tante-tante bahenol, body semok, bibir merah merona terus yang pake bulu mata palsu lentik anti tornado" kalimat itu dengan lantang Alika ucapkan tanpa menyadari kedatangan Nino, Putri dan satu orang lagi yang berhasil membuat Alika mematung atas ucapannya barusan.

Nino yang menyadari wajah pias Alika langsung saja mencari pengalihan dengan mengajak Dirga menuju meja kubikelnya lalu menarik satu kursi kosong untuk di duduki Dirga.

Mampus sudah Alika. Jika minggu lalu ia menuduh sang atasan, kini ia berkelakuan lebih kejam yaitu memfitnah. Walaupun sebenarnya ia hanya bicara asal agar dirinya selamat dari berbagai asumsi serta godaan Bima. Namun, sial. Bukannya selamat, Alika malah tersandung ucapannya sendiri.

Masih dengan raut wajah pias, Alika memindahkan tas dan segera mendudukkan dirinya. Matanya bersitatap dengan Bima. Jika menebas leher tidaklah membuat nyawa seseorang melayang, kemungkinan besar tindakan tersebut sudah ia lakukan pada Bima saat itu juga. Sekali sialan tetap sialan! Bima dengan tampang mengejeknya masih setia ia pajang di wajahnya yang standar itu.

Terbaliknya Dunia DirgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang