"Marahnya awet" suara pelan itu tentu masih bisa ditangkap oleh indera dengar Alika.Dirga yang duduk disebelahnya masih menatap Alika berharap perempuan itu menoleh dan kembali ke setelan awalnya yang cerewet. Jujur, diamnya Alika sedikit mengerikan. Perempuan itu benar-benar belum membuka suara sejak kedatangannya dikantor. Sesuai instruksinya kemarin, Dirga menjemput Alika kemudian keduanya akan menggunakan taxi online ke apartemen Dirga.
Sekarang, taxi online itu sudah memasuki loby dan berhenti tepat didepan. Dirga mengambil selembar uang di dalam dompetnya lalu lelaki itu berikan kepada Pak supir.
"Sudah dibayar diaplikasi tadi, Mas" supir taxi yang berusia kira-kira akhir empat puluhan itu enggan menerima.
"Tip dari saya, Pak." Balas Dirga tersenyum singkat kemudian sang supir mengangguk seraya mengucapkan terimakasih.
Dirga berjalan sembari menarik kopernya. Di belakang, Alika mengikuti langkah lelaki itu. Layaknya anak ayam, Alika lebih memilih berjalan di belakang, sesekali menatap punggung Dirga yang dilapisi kaus lengan panjang berwarna navy.
Di dalam lift pun, Alika mengambil jarak. Dirga menyadari itu, namun ia biarkan saja. Nanti ketika sampai di apartemennya, baru lelaki itu akan bertanya. Tiba didepan pintu, Dirga menempelkan kartu aksesnya. Membuka pintu lebar-lebar untuk Alika lewati.
Tiga kesan pertama perempuan itu saat memasuki apartemen Dirga untuk pertama kalinya adalah bersih, rapi dan wangi. Sesuai dengan pribadi sang pemilik. Warnanya cenderung monokrom. Tidak ada warna gonjreng sejauh mata Alika memandang.
Dirga menaruh kopernya di samping sofa kemudian berjalan ke sisi lain, dimana terdapat kitchen set dengan nuansa putih dan biru tua. Hampir menyatu dengan warna kaus yang digunakan lelaki itu saat ini. Hanya saja, warna kaus Dirga lebih sedikit tua.
Alika lagi-lagi mengikuti langkah Dirga setelah mendengar Dirga yang memanggil namanya.
"Duduk" ujarnya melirik kursi bar yang tak jauh dari tempat Alika berdiri. Kemudian lelaki itu membuka kulkas dan menatap Alika, "Mau minum apa?"
"Yang ada aja" Akhirnya Alika bersuara. Sudut bibir Dirga terangkat tipis. Dibawanya dua minuman botol dengan rasa lemon lalu ia letakkan satu di depan perempuan itu.
Dirga menarik satu kursi dan duduk disebelah Alika, memperhatikan bagaimana perempuan itu membuka tutup botol dan minum terburu-buru. "Pelan-pelan" ujarnya sembari tangan kirinya menepuk punggung Alika yang tersedak. Setelahnya Dirga berjalan mengambil air mineral botol dalam kulkas dan membuka penutupnya lebih dulu sebelum ia berikan pada perempuan itu.
"Terimakasih" ucap Alika sangat pelan.
"Mau order makanan?" Dirga menawarkan. Jujur saja, perutnya hanya di isi roti sejak siang. Rencananya, setelan pesawat landing, ia akan makan dulu di cafetaria bandara sebelum menjemput Alika di kantor. Tapi waktunya tidak cukup, sebab pesawat yang ditumpanginya tadi delay setengah jam. Alhasil, dari bandara Dirga langsung ke kantor dan sudah menemukan Alika yang hendak memesan taxi online.
Alika mengangguk kecil. Persetan dengan perasaannya sekarang, yang jelas perutnya harus segera diisi. Jam istirahat tadi, Alika hanya makan satu cup mie ukuran kecil.
Dirga menyodorkan ponselnya setelah ia membuka sandi. Dengan bingung Alika menoleh, namun hanya sekian detik lalu matanya turun menatap ponsel keluaran terbaru dari negeri gingseng tersebut.
"Pesan di sini." perintah Dirga.
Alika melirik Dirga lagi, kemudian diambilnya ponsel itu, membuka aplikasi delivery makanan dari sana. Setelah melihat-lihat, pilihannya jatuh pada warung sate yang cabangnya sudah banyak di Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbaliknya Dunia Dirga
ChickLit. . . [Bisa Baca "Pak to be Mas" dan "After We're Together" lebih dulu biar paham ya, guys] (UNPUBLISH!!!)