Suara bariton kendaraan berlalu lalang terdengar sangat hambar. Bukan karena tak seberisik klakson pada bus yang bisa memainkan musik. Bukan pula karena tak ada kendaraan yang berlalu lalang, namun karena lele bakar yang Raffa dan Qiya santap di tepi jalan bukanlah buatan sang ibu sehingga hambar hanya menyertai perasaan keduanya, rindu memporak-porandakan hati keduanya.
"Jadi kangen ibu ya mas" interupsi Qiya
"Iya, mas juga jadi kangen keluarga. Kangen Petter juga" balas Raffa
"Kita kapan ya mas bisa ke Jakarta?" tanya Qiya yang ekpresinya sudah murung
"Secepatnya ya semoga, mas juga mau balik ke Jakarta lagi" balas Raffa cepat
"Lani, mama kangen nenek. Lani kangen engga?" tanya Qiya pada bayi berusia 4 bulan yang berada dalam gendongannya. Lani memang berada di tengah keduanya, melihat kedua orang tuanya yang sedang beradu mesra. Bagaimana tidak? Aksi saling suap mereka ciptakan karena tangan Qiya yang sibuk menggendong Lani.
"Akhir tahun ini pulang yuk!" ajak Qiya pada Raffa
"Mas usahain ya, semoga bisa cepet pulang ke Jakarta dan ketemu yang lainnya" balas Raffa
Solo di malam hari memang jauh lebih menenangkan di bandingkan dengan Jakarta. Lampu di sepanjang jalannya pun terasa begitu menghangatkan. Sejuk menyelimuti perjalan mereka. Beruntungnya tak hujan karena Qiya dan Raffa menggunakan sepeda motor untuk quality time malam ini.
"Sayang mau beli makanan dulu engga?" tanya Raffa sebelum mereka sampai di rumah
"Ke apotek aja ya mas, aku mau beli minyak telon sama minyak angin buat di rumah" balas Qiya
Kemudi motor di arahkan menuju salah satu apotek yang berada tak jauh dari sana. Raffa memarkirkan sepeda motornya dengan begitu rapi. Qiya turun tanpa membuka helmnya.
"Mas tunggu sini aja biar cepet!" terang Qiya. Raffa mengangguk dan menurut.
Benar saja kata Qiya jika tak akan membutuhkan waktu lama karena hanya 5 menit Qiya masuk, ia sudah keluar lagi dengan satu kantung kecil yang Raffa tebak isinya memang minyak telon dan minyak angin.
"Udah semua? Ada yang kurang engga?" tanya Raffa memastikan sebelum motor itu ia lajukan keluar dari halaman apotek. Qiya yang sudah terduduk di belakang Raffa mengangguk dan menjawab "udah semua mas, ayo pulang kasian Lani udah ngantuk banget ini".
Raffa berkutat dengan kemudinya, membelah jalanan kota Solo dengan orang yang ia cintai. Sesekali Raffa mengajak Qiya bicara walau jawaban Qiya hanya "HAH?" namun itulah khasnya dari bercerita di atas kendaraan roda dua.
Motor terparkir sempurna di garasi. Qiya sudah masuk lebih dahulu untuk meletakan Lani pada box bayi sedangkan Raffa masih berkutat pada gembok pagar nya yang sudah mulai usang. Mulutnya tak berhenti mengoceh dan melontarkan keluhan perihal gembok. Keputusan akhirnya ia memilih membiarkan pagarnya tanpa gembok saja karena lelah di tambah dengan kesabarannya yang setipis tisu.
Malam yang indah, sejuk dan penuh kenangan bagi keluarga kecil itu di tutup dengan sepasang suami istri yang tertidur dengan saling mendekap dan menikmati aroma tubuh satu sama lain.
***
Kicauan burung terbang terdengar nyaring, matahari dari jendela kamar sudah menyambar matanya, tangannya meraba pada kasur disebelahnya dan tak merasakan ada pemiliknya. Matanya yang semula terpejam kini terbuka sempurna. Nanarnya menelisik ke setiap sudut kamar namun tak menemukan siapapun selain dirinya. Kakinya ia tapakan pada lantai yang cukup dingin, lalu melangkah masuk pada kamar mandi.
Kini wajahnya tampak segar setelah mencuci muka. Pintu kamar ia buka lebar dan menemukan sang istri dan anaknya yang sedang bermain pada ruang keluarga. Perkembangan yang tak pernah Raffa pikirkan namun nyata adanya. Lani, anak perempuan itu sudah dapat membalikan tubuhnya sendiri. Ocehan kecil terdengar, kata "papa" juga tak sengaja ia dengar walau tak jelas.
"Papa cariin ternyata kalian disini ya!" ucap Raffa yang berhasil mengalihkan atensi kedua wanita itu. Raffa melangkahkan kakinya kepada dua wanitanya, ia juga ingin bergabung di atas playmate yang terbentang mengalasi dinginnya lantai keramik rumahnya.
"Sini papa!" ucap Qiya menirukan suara anak kecil
"Papaapapapap...papapapapap...." kini Lani menirukan suara Qiya
Atensi keduanya beralih pada Lani yang berhasil membuat jantung kedua orang tua itu berdegup kencang. Qiya dan Raffa memilih duduk dihadapan Lani yang sedang tengkurap dan menatap kedua orang tuanya. Setelah itu tawa nya terbit, bak bayi yang sedang meledek orang dewasa. Air mata Qiya luruh, hatinya bergetar hebat. Bayi nya semakin pintar.
"Kamu kenapa nangis?" tanya Raffa yang sudah pasti bingung
"Lani pinter banget mas" balas Qiya
"Mas juga terharu banget anak kita udah makin gede padahal baru 4 bulan tapi pinter banget bikin kita bangga" terang Raffa
"Lan, coba panggil papa lagi nak!" pinta Raffa
"Papapaapapapap...papapapapapap" Lani mengoceh tanpa mengetahui makna dari ocehannya itu dapat membuat Raffa tersenyum senang
"Iya nak kaya gitu! Besok kalo mau minta susu bilang papapap lagi ya" balas Raffa antusias
"Nak besok bilangnya mamamamam dulu dong, masa papa si? Kan Lani bobo siangnya sama mama, mandi sore sama mama, main pagi sama mama, yang buatin susu mama. Masa mama belakangan?" keluh Qiya
"Mama iri tuh Lan hahaha" ucap Raffa dengan tawa nya yang cukup membuat Lani kaget dan terisak sehingga Raffa harus menggendongnya dan menghibur bayi kecilnya.
"Emang bapaknya kebiasaan kalo ketawa suka lupa kalo udah punya anak, hadeuhhh" keluh Qiya dan memilih menuju dapur dan menyiapkan sarapan.
Keluarga ini terlihat penuh bahagia sekali. Haru sering mengisi perasaan di dalam hati Qiya dan Raffa. Keluarga cemara nya sempurna semenjak adanya Lani walaupun kekurangan tetap menjadi pikiran utama namun syukur selalu mereka langitkan sehingga bahagianya penuh.
"Kata pertama nya Lani itu papa semoga nanti kata pertamanya mama ya" ucap Qiya ketika sedang asik dalam lamunannya di dapur
"Ngelamun apa si mama?" tanya Raffa yang memasuki dapur dengan Lani
"Ngelamunin kapan Lani manggil mama" balas Qiya
"Lani bisa tau ngomong mama, ayo nak tunjukin!" ujar Raffa
"mamamamamama" bukan, ini bukan suara Lani melainkan suara Raffa yang menirukan anak kecil lalu setelahnya tawa Raffa pecah dengan Lani yang ikut tertawa. Qiya hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus pada panci dan spatula nya.
***
Maaf ya karena aku masih jarang update, tapi di usahakan untuk tetap update hehehe
Semoga kalian masih mau sabar dan menunggu ya!
Oh iya, aku juga mau ngucapin terima kasih karena kalian "Bangsal Terakhir" sudah 100K views. Tanpa kalian aku bukan apa-apa dan tanpa kalian bangsal terakhir mungkin akan jadi cerita yang usang dan berdebu. Terima kasih sekali lagi, semoga kalian bahagia.
Untuk merayakan 100K kalian mau apa guys? Ayo komen! InsyaAllah kalo aku mampu, aku kabulin ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangsal Terakhir
RomanceSaqiya terpaksa mengulang state nya karena seorang dokter yang tak memiliki hati nurani. Dirinya harus mengurungkan niat untuk lulus pada koas nya kali ini dan tidak dapat mengucapkan sumpah dokter bersama temen-temennya karena perbuatan dokter ters...