Raffa terbangun, kepalanya terasa cukup berat. Beberapa kali ia menerjapkan mata. Namun setelahnya ia melihat Qiya yang sedang tertunduk. Qiya duduk di kursi yang berada di samping kasur sebelah Raffa.
"Ngapain?" Tanya Raffa pada Qiya
"Nunggu mas bangun" balas Qiya
"Sekarang jam berapa?" Tanya Raffa
"Jam 10" balas Qiya
"Mas telat, minggir" ucap Raffa yang begitu dingin
"Mas tapi Qiya udah izinin mas, mas engga usah ke rumah sakit ya" Pinta Qiya pada Raffa
"Minggir!" kesal Raffa pada Qiya
"Mas, tolong dengerin Qiya dulu. Mas jangan langsung pergi gitu aja dong" mohon Qiya pada Raffa
"MINGGIR SAQIYA!" Raffa sudah benar-benar tak dapat lagi menahan amarahnya. Ia kembali meluapkan amarahnya pada Qiya. Ini bukan perihal cemburu saja namun banyak hal yang Raffa tahan selama ini pada Qiya, wanita yang ia cintai dan sudah sah menjadi istrinya
Qiya tentu tersentak dengan perilaku yang Raffa lakukan padanya. Buliran air matanya sudah membasahi pipinya. Namun Raffa tak peduli. Jika ia di apartment bersama Raffa ia akan semakin menyakiti wanitanya.
***
Raffa memasuki Rumah Sakit dengan wajahnya yang lebam parah. Beberapa perawat menawarkan perawatan medis, ditambah dengan wajahnya yang pucat pasi. Beruntungnya hari ini jadwal polikliniknya sudah di alihkan ke Petter dan jadwalnya di kampus sudah dikosongkan oleh Qiya tentunya.
"Lo ngapain masuk anj?" tanya Petter memperhatikan Raffa yang sudah terlelap di atas soffa dalam ruangan miliknya
"Males liat ade lo" balas Raffa pada Petter
"Lo bener dengerin omongan gua kemarin, Raff?" tanya Petter dan diangguki oleh Raffa dengan matanya yang terpejam.
"Raff, balik! Jadwal lo udah dikosongin!" terang Petter
"Ada jadwal operasi, kecelakaan! Pasiennya tadi baru dateng keliatannya fraktur luar. Lo ada jadwal kan di kampus?" tanya Raffa
"Yaudahlah terserah" ucap Petter kemudian meninggalkan ruangan milik Raffa untuk menuju ke kampus
Raffa berjalan memasuki ruang operasi. Dirinya akan bertugas dengan Faqih, beruntungnya bukan Abiyan sehingga ia tidak perlu terjadi perpecahan lagi antara keduanya. Raffa menyelesaikan operasi dengan baik walaupun terkendala dengan Faqih yang menjalani operasi fraktur tanpa sang istri yang mendampingi. Raffa berjalan keluar lebih dahulu untuk menemui keluarga pasien dan memberikan kabar jika operasi berjalan lancar. Setelahnya ia berjalan menuju ruangannya dengan baju operasi berwana hijau tua yang belum ia ganti setelah keluar dari ruang operasi. Ia membaringkan kembali tubuhnya di sofa ruangannya dengan sesekali memijat kepalanya dan setelahnya terlelap.
***
Pukul 7 malam, Raffa belum juga kembali. Qiya begitu mengkhawatirkan sang suami terlebih ia mengendarai mobil. Qiya terus saja memikirkan hal buruk yang akan terjadi pada Raffa kala dirinya sedang marah dan sakit secara bersamaan.
Suara pintu terbuka membuyarkan fokus Qiya yang sedang menatap jam dinding dan pintu apartmentnya dengan tatapan penuh harap. Seorang pria yang ia kenali adalah abangnya, Satya, datang dengan membopong pria yang sedari tadi Qiya tunggu.
"Mas Raffa?" ucap Qiya pertama kali dengan mata yang membulat sempurna. Ia melihat Raffa yang dengan lemas di bopong oleh Satya.
"Abang ko bisa sama mas Raffa?" tanya Qiya saat Satya berhasil meletakan Raffa pada sofa
"Tadi abang dikabarin Petter katanya bantu cek keadaan Raffa di ruangannya di Rumah Sakit" balas Satya
"Terus?" tanya Qiya
"Terus dia tidur diatas sofa tapi pas abang bangunin engga bangun-bangun. Terus pas abang mau panggilin perawat, Raffa nolak dan minta buat pulang aja. Katanya mau di obatin sama kamu aja, ya abang bawa kesini" jelas Satya
"Ya Allah mas, udah aku bilang jangan kerja dulu" terang Qiya yang kini pahanya menjadi tumpuan untuk kepala Raffa
"Yaudah de, abang pulang dulu ya" pamit Satya pada Qiya lalu Qiya menganggukinya sebagai jawaban. Tak lupa ia lontarkan perkataan terima kasih karena telah membantu Raffa
Kini hanya tersisa Raffa dan Qiya di dalam apartment tersebut. Qiya masih setia mengusap kepala Raffa yang tertidur di pahanya. Sesekali Qiya memijat kepala Raffa dan Raffa begitu menikmatinya. Bahkan Raffa tanpa sadar memeluk perut Qiya, wajahnya ia sembunyikan di perut Qiya. Qiya sebenarnya merasa kegelian namun ia tetap senang Raffa melakukan hal tersebut.
"Sasa, mas mau minum" ucapnya dengan surau parau.
Qiya mendengar, lalu ia beranjak dengan sedikit mengangkan kepala Raffa lalu ia letakan kepala Raffa pada bantal. Langkah kakinya segera mengambil minuman untuk Raffa.
"Mas ayo ini diminum" terang Qiya dengan tangan yang terulur memberikan segelas air putih.
Dengan bantuan Qiya, Raffa mulai terduduk dan bersandar pada sofa. Lalu dengan segera Qiya duduk disampingnya sambil menyodorkan air minum pada Raffa. Raffa menerimanya dan meminum segelas air tersebut.
"Mas belum makan kan pasti? Kan Qiya udah bilang diapartment aja jangan kemana-mana" ucap Qiya yang kembali meletakan gelas bekas Raffa pada meja dihadapannya.
"Mas tunggu sini sebentar, Qiya buatin bubur dulu" terang Qiya pada Raffa
"Disini aja" ucap Raffa dengan menarik kembali tubuh Qiya dengan melingkarkan tangannya pada perut Qiya. Qiya yang tak siap lalu kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat diatas pangkuan Raffa. Raffa yang nyaman dengan posisi tersebut terlebih kini wajahnya ia sembunyikan pada ceruk leher Qiya membuat pria itu kembali terlelap dengan posisi memangku wanitanya dan memeluk wanitanya dari belakang.
"Mas"
"Biar gini dulu, kepala mas sakit, Sa" terang Raffa lalu Qiya mengangguk dan membiarkan suaminya tertidur dalam posisi seperti itu.
Pukul 9 malam Raffa terbangun karena sedari tadi Qiya membangunkannya dengan sabar. Ia membuka matanya dan melihat Qiya yang sudah tersenyum manis. Tubuhnya kini berbaring diatas sofa. Itu berarti Qiya membantunya untuk merebahkan tubuhnya di sofa tersebut karena seingatnya tadi ia tertidur dengan memeluk Qiya yang terduduk dalam pangkuannya.
"Mas makan dulu yuk" ajak Qiya
"Kita ngobrol dulu" balas Raffa dengan intonasi yang kembali dingin padahal sebelumnya sudah menghangat
"Iya boleh, mas mau ngobrolin masalah dr. Abiyan kemarin kan?" tebak Qiya
"Kamu cinta engga sama mas?" tanya Raffa tiba-tiba
"Mas kenapa nanya yang jawabannya mas tau" balas Qiya
"Yang mas tau kamu engga cinta sama mas, Sa. Jadi jawabannya engga cinta?" tanya Raffa
"Kenapa mas gampang menyimpulkan?" tanya Qiya yang mulai kesal
"Oke mas anggap jawaban iya kamu masih cinta. Pertanyaan mas itu simple, Sa. Tapi kamu engga bisa jawab." terang Raffa yang ada benarnya juga
"Jelas-jelas Qiya cintanya sama mas" balas Qiya
"Bullshit!" balas Raffa yang merasa sudah mencoba mengajak Qiya bicara
"Terserah mas mau mikir apa, sekarang makan dulu" Qiya sudah mengulurkan sendok ke dekat wajah Raffa namun dengan segera Raffa menepisnya sehingga sendok itu terjatuh dan bubur di dalamnya ikut berantakan di lantai. Raffa tak memiliki rasa bersalah, ia bangun dengan memegang kepalanya berat menuju kamar. Qiya hanya dapat memperhatikan punggung suaminya dengan kembali meluruhkan air mata yang sudah membasahi pipinya.
Malam ini berakhir dengan keributan. Qiya bahkan tak berani menyapa Raffa. Egonya pun ingin marah dan membiarkan pria tersebut berpikir dan memenangkan diri. Qiya pun ingin menenangkan dirinya dikamar tamu yang ada. Berharap semua akan kembali baik dan berusaha menerima semua perlakuan suaminya terhadap dirinya.
***
Selamat membaca !
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa gengs🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangsal Terakhir
RomantizmSaqiya terpaksa mengulang state nya karena seorang dokter yang tak memiliki hati nurani. Dirinya harus mengurungkan niat untuk lulus pada koas nya kali ini dan tidak dapat mengucapkan sumpah dokter bersama temen-temennya karena perbuatan dokter ters...