Welcome!
This story is made with love, so please respect it. Read, enjoy, and support!
Jangan lupa follow Instagram aku ya [@astihrbooks_]
ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢
Duduk di atas ranjang dengan punggung menyandar pada headboard, Galen hanya memandangi Ainsley, wanitanya yang kini tampak hancur dalam pelukan dirinya sendiri.
Ia memeluk lutut, menyembunyikan wajah basahnya di sana, sementara bahunya berguncang hebat karena tangis yang tak kunjung reda.
Sudah lebih dari satu jam sejak Galen berkata bahwa ia menerima segalanya—kekurangan, luka, bahkan kemungkinan yang menyakitkan itu. Dan sejak itu, Ainsley menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Atau mungkin lebih tepatnya, seperti anak kecil yang tiba-tiba diberi tahu bahwa monster di bawah ranjangnya sebenarnya tidak pernah ada.
Wajahnya merah. Matanya bengkak. Ingusnya mengalir tanpa malu-malu dan ia hanya mengusapnya dengan punggung tangan, berulang kali, hingga membuat wajahnya makin kacau.
Galen menatapnya sebentar sebelum menghela napas pelan. Lalu ia mendekat. Tangannya menyentuh bahu Ainsley dengan kelembutan yang nyaris seperti belaian angin. Ia mengusap pelan, seolah tak ingin menakuti hati rapuh yang tengah merintih itu.
"Sudah yaa...,” bisiknya lembut, nyaris seperti gumaman, “Kepalamu bisa sakit jika terus menangis seperti ini."
Ainsley hanya menangis lebih keras, seolah ucapan itu malah menekan tombol yang membuatnya meledak lagi. Tapi Galen tidak tertawa. Dia tidak mengeluh. Yang dia lakukan justru makin mendekat. Ia menyingkirkan rambut berantakan dari wajah Ainsley, menghapus jejak air mata yang membentuk sungai kecil di pipinya.
Dan saat hidung mungil wanita itu kembali mengeluarkan air, Galen meraih tisu di nakas. Tapi kemudian, saat tak menemukan tisu, ia tak ragu mengangkat wajah Ainsley dan tanpa geli, tanpa jijik menghapus ingus itu sendiri dengan jari-jarinya.
Ainsley sontak terkejut, terisak di sela tawanya yang terdengar sumbang. “Galen, itu... menjijikkan…”
“Tidak lebih menjijikkan dari melihatmu menggosok wajahmu dengan lenganmu sendiri seperti anak kucing kena flu.”
Dia tersenyum, lalu mengusap lembut hidung Ainsley dengan ibu jarinya.
“Lihat aku.”
Perlahan, Ainsley mendongak. Matanya merah, lembab, namun ada sinar baru di sana. Rapuh, tapi hidup.
“Sshh... sudah ya. Menangislah jika perlu. Tapi jangan pernah ragukan satu hal pun tentang dirimu.”
Galen menggenggam wajah Ainsley, menahannya dalam kedua telapak tangannya.
“Kau... adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatku jatuh cinta dengan cara paling bodoh dan paling gila dalam waktu yang begitu singkat.”
Ainsley membeku. Air mata masih mengalir. Tapi kali ini, lebih sunyi. Lebih tenang.
“Aku... tidak bisa memberimu anak...”
“Kauu sudah memberiku hal yang lebih penting.” Galen mencium keningnya perlahan. Lama. Dalam.
“Kau memberikanku tempat pulang.”
Ainsley terdiam. Lama. Seolah tengah memproses setiap kata yang baru saja keluar dari mulut pria di hadapannya—pria yang tak hanya mencintainya, tapi juga menerima seluruh luka dan ketidaksempurnaannya.
Mereka saling menatap. Diam, tapi dalam. Tak satu pun dari mereka bicara, tapi keduanya tahu: ada cinta yang tak terucap, ada perasaan yang menggema meski tanpa suara.
Lalu akhirnya, Ainsley membuka mulutnya dengan suara lirih, nyaris berbisik.
“Kau... baik sekali, Galen... terlalu baik...”
Dan seperti membuka pintu air yang baru tertutup sesaat, ia kembali terisak. Tangisnya pecah seperti anak kecil yang jatuh karena terlalu bersemangat berlari, tak peduli lututnya berdarah, yang ia tahu hanya rasa sakit dan ingin dipeluk.
Galen menatapnya, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Astaga, pikirnya. Lagi. Nangis lagi.
Ia menghela napas panjang, memijat pelipis seolah ikut merasakan beban emosional wanita itu.
Tapi kemudian ia tersenyum. Senyum seorang pria yang jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta, bahkan pada sisi paling ribut dan merepotkan dari wanita yang ada di hadapannya.
“Menangislah kalau itu bisa membuatmu merasa lebih lega.”
Ia menyeka air mata Ainsley, membiarkannya bersandar ke dadanya lagi. “Tapi jangan sampai kehabisan air, ya? Aku belum siap harus sediakan air galon di kamar cuma karena kamu terlalu sering menangis.”
Tawa kecil, kecil sekali akhirnya lolos dari bibir Ainsley di sela-sela isaknya.
Dan di saat itu, Galen sempat berpikir.
Kalau nanti mereka punya anak, akankah anak itu lebih drama dari Ainsley sekarang?Ia menatap rambut berantakan wanita itu yang kini mendekam di dadanya seperti boneka rusak yang baru saja diperbaiki.
Lucu juga. Tapi entah kenapa, ia harap anak mereka nanti persis seperti ini. Sama, ributnya. Sama, manisnya.
Dan saat Ainsley perlahan tenang, Galen menatap langit-langit kamar, menghela napas lega.
“Ya Tuhan... satu anak saja cukup, kalau seperti ini,” gumamnya pelan.
Ainsley mendongak, matanya masih sembap namun ada senyum menggoda di bibirnya. “Aku dengar itu.”
Dan Galen hanya terkekeh, mengusap ujung hidung wanita itu dengan hidungnya sendiri.
Ketika tangis Ainsley mulai mereda, Galen melonggarkan pelukannya sedikit. Bukan karena ingin menjauh, tapi agar ia bisa benar-benar melihat wajah wanita yang tengah mengaduk-aduk hatinya sedalam ini.
Jemarinya yang besar dan hangat mengusap lembut pipi Ainsley, menghapus sisa air mata, keringat, bahkan ingus yang masih mengotori wajah itu tanpa sekalipun merasa terganggu. Tak ada jijik di matanya—hanya kasih yang menumpuk dan tumpah di sana.
“Dengar, Ainsley...” suara Galen lirih, namun nadanya kokoh, seakan mengukir tiap katanya ke dalam hati wanita itu.
“Aku tidak menikahimu untuk sesuatu yang harus kau beri padaku. Tidak untuk anak, tidak untuk peran sebagai istri sempurna. Aku menikahimu karena kaulah rumahku.”
Ainsley menatapnya, dengan mata sembap dan hati yang belum sepenuhnya tenang. Tapi setiap kata yang keluar dari bibir Galen terasa seperti jaring halus yang memeluk luka-luka lamanya, menenangkan gejolak yang belum sempat ia redakan sendiri.
“Jangan siksa dirimu dengan kekhawatiran yang bahkan tak seharusnya kau tanggung sendiri. Aku tidak butuh warisan darah darimu, Ainsley... Aku butuh kehadiranmu. Kau adalah tujuan dari jalanku. Kau dan hanya kau—sudah lebih dari cukup untuk melengkapi hidupku.”
Air mata Ainsley kembali jatuh, kali ini tanpa isak. Diam, namun deras. Bukan karena kesedihan, tapi karena rasa syukur yang begitu dalam, karena cinta yang tak pernah ia sangka bisa begitu penuh, begitu bulat, datang dari pria yang dulunya hanya luka di masa lalunya.
“Anak itu hanya bonus,” lanjut Galen dengan senyum kecil namun sungguh-sungguh. “Hadiah kalau Tuhan berkenan. Tapi kau adalah inti dari semuanya. Dan aku tak akan pernah merasa kurang, selama aku masih bisa memelukmu setiap malam, dan bangun denganmu di sisiku setiap pagi.”
Lalu dengan pelan, ia mencium kening Ainsley. Lama. Dalam. Seolah dengan satu ciuman itu ia ingin menyampaikan janji tak bersyarat, bahwa tak peduli dunia bagaimana pun berubah, ia akan tetap mencintai wanita itu dengan seluruh nafas yang ia punya.
“Aku mencintaimu, nyonya Barnaby,” bisiknya, rendah namun cukup kuat untuk membuat hati Ainsley runtuh sekali lagi—bukan karena sedih, tapi karena betapa indahnya merasa dicintai sedalam itu.
ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢
LOSE OR GET YOU
[23 April 2025]
-
-

KAMU SEDANG MEMBACA
LOSE OR GET YOU
Romansa[SEQUEL FADED DESIRE] [BARNABY SERIES II] Tiga tahun lalu, Ainsley Lysander menandatangani surat perceraian dengan tangan gemetar dan hati yang hancur. Ia pergi tanpa menoleh, meninggalkan cinta yang menghanguskan sekaligus luka yang tak kunjung sem...