"Ceritaku banyak, tapi tempatnya saja yang tidak ada. Dan kau, malah memilih pergi. Lantas aku dengan siapa?"
-Araksa Rayn-
•••
Flashback on
7 tahun yang lalu.
Suara buku yang dibanting itu menggetarkan udara di ruangan sunyi, seakan sebuah peringatan yang tak terucap. Sampulnya yang keras menimpa meja dengan suara yang nyaring, membelah kesunyian, mengirimkan getaran yang terasa di tulang-tulang. Setiap halaman yang terlempar seolah berteriak dalam diam, menceritakan kemarahan yang tak bisa lagi disembunyikan.
Anak remaja itu terdiam, matanya terpejam sejenak, tubuhnya kaku seperti patung. Buku itu, seolah-olah mewakili amarah yang terkumpul lama, dipaksa keluar dalam bentuk yang paling kasar, paling tajam. Sementara itu, udara di sekitar mereka seolah menjadi lebih berat, penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan-marah, kecewa, dan mungkin, kesedihan yang tak terucap.
Dia siap menerima kelanjutan dari amarah itu. Benar saja, tangan mungilnya di tarik menuju rantai yang sengaja dipasang di ruang kerja milik pria paruh baya yang kini menggenggam sebuah gesper berbahan kulit.
Ctas!
Ctas!
Ctas!
"Ini salahmu yang tidak menuruti perintahku!"
Ctas!
Ctas!
Ctas!
"Aku menyuruhmu mempelajari konsep perbisnisan, bukannya asik menyusun intrumen tak berguna seperti ini!"
Ctas!
Ctas!
Seorang wanita berdiri diambang pintu dengan perasaan kalut, tangannya bergetar, menatap sang putra yang disiksa tanpa henti.
"Mas.. sudah mas.. hentikan," ia berjalan mendekati sang putra, ia segera merengkuh tubuh mungil itu.
"Aksa masih terlalu dini, kau tidak bisa mendidiknya seperti ini," sedang yang dipeluk hanya diam, merasakan kehangatan dari sang bunda yang melahirkannya. Pria tua itu pun menarik tubuhnya paksa untuk menjauhi Aksa.
"Aku hanya memberinya pelajaran, agar berguna di masa depan. Jadi kau diam saja disana!"
Aksa merasakan getaran terus-menerus dari sakunya, seseorang pasti tengah menelpon. Ketika Bara sedang sibuk berdebat dengan sang istri, Aksa mengambil kesempatan untuk menjawab telepon tersebut.
Alan?
Greb!
Trang!
Suara ponsel yang dibanting itu keras dan tajam, seakan-akan menggema di ruang yang hening.
"Berani-beraninya kau mengangkat telepon dihadapanku, dasar bocah tidak tahu diri!"
Malam itu, Aksa mendapatkan hukuman yang bertubi-tubi. Cambukan, tamparan serta makian yang terus membunuh dirinya. Bara menghentikan aksinya tepat pukul satu malam, ia meninggalkan Aksa yang terkulai lemas diatas lantai. Manatanya menatap nanar ponsel yang terlihat retak.
Apa kau baik-baik saja Alan? Maafkan aku.
Keesokan harinya, Aksa tidak sengaja menonton televisi, seorang reporter tengah memberitakan sebuah tragedi mengenaskan yang terjadi bertepatan ketika dirinya disiksa habis-habisan oleh Bara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reset
FanfictionBagaimana rasanya ketika kamu bangun dari tidurmu, semua kenangan yang menyakitkan lenyap seketika, bukan kecelakaan bukan kebetulan, namun ini sebuah keajaiban. Kamu kembali hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam. Namun kosong, seakan bayi...