Bunyi dentingan jam mengisi suasana sunyi. Di kediaman yang gelap, yang hanya diisi oleh cahaya tipis. Namun semburat pagi perlahan mulai mengedarkan warnanya, demi menerangi ruang temaram yang tak luas itu.
Lalu ada Quin, yang tiba-tiba terduduk dengan netra yang masih mengantuk. Tetapi panggilan alam sangat sulit ia lawan hingga berusaha sadar ke dunia nyata. Quin kemudian mengedarkan pandangannya, ia langsung tersentak sesaat menangkap siluet Bryan yang terbaring di sebelahnya. Hingga tak sengaja yang ia lakukan selanjutnya yakni melayangkan tendangan hingga tubuh itu tersungkur dari tempat tidur.
"Akh!" Bryan meringis, mencoba mendudukkan diri. Kantuk yang meliputi dirinya sebab semalam habis bekerja terpaksa ia urung. Ia sadar tubuhnya baru saja terjerembab di lantai dingin, dan itu membuatnya mengeluh sakit di punggungnya. Namun tak ia sangka sosok yang melakukan itu adalah Quin si tersangka.
"Kau itu kenapa?" desis Bryan masam. Perlahan ia terbangun berdiri di samping tempat tidur, sembari menatap Quin dengan tatapan kesal. "Jangan bertingkah menyebalkan, Quin."
"Jangan kesal, aku lebih terkejut," balas Quin membela diri. "Bukankah tadi aku tidur di sofa? Mengapa tiba-tiba ada di sampingmu?"
"Berarti kau tidur sambil berjalan."
Menghembuskan napas sejenak, Bryan kembali merebahkan diri di atas ranjang. Namun sedikit khawatir ia menoleh pada Quin dan berkata. "Jangan tendang lagi, aku masih mengantuk," serunya sebelum menutup netra.
Hening sejenak.
Quin yang ditinggal tidur terpaku sendiri.
Ia menatap punggung Bryan yang terlelap, kemudian netranya berkedip beberapa kali. Sejujurnya Quin juga mengantuk. Sangat mengantuk. Namun panggilan alam yang sempat ia lupakan kembali datang, mengharuskannya kembali membuat kehebohan dengan cara yang pastinya tak disukai Bryan. Kali ini tepukan keras yang melayang di punggung itu. Bryan seketika tersentak, tatapan membunuhnya lantas terhunus menatap Quin.
"Sekarang apa lagi, Quin!" geramnya melirik bengis.
"Aku mau ke kamar mandi. Ini mendesak."
"Kamar mandinya ada di luar. Pergilah!"
"Tapi aku takut ... " keluhnya sedikit melembut. "Tolong temani aku, Bryan."
Seketika mendengus panjang, bibir Bryan menipis agar tak mengeluarkan umpatan. Dan kantuk yang mengundang terpaksa ia usir segera. Jujur keinginan Quin tak ingin ia turutkan tetapi jika ia tetap mengikuti keinginannya, Bryan yakin Quin tak akan membiarkannya tidur bahkan sejenak.
Perlahan menurunkan kakinya ke ubin yang dingin, Bryan kemudian berjalan diikuti Quin di belakangnya, keduanya keluar kamar untuk menuju kamar mandi di pojok ruangan lantai dua.
"Masuk sana,"
"Tu—tunggu dulu, kamar mandinya baik baik saja, bukan?" Sejak semalam Quin berusaha menghindari kamar mandi. Tidak hanya karena gelap, tempat yang kotor sungguh menyiksanya. Ia bahkan mencoba bertahan selama beberapa jam tapi hasilnya ia tak tahan. "Jujur saja...aku tidak pernah berada di tempat seperti ini, tidur di tempat berdebu sebenarnya aku juga tidak mau. Jadi—"
"Ya sudah, tahan saja,"
"Tidak bisa ditahan, Bryan..." keluhnya ingin menangis.
Bryan memutar bola mata. "Masuk, atau kau mau buang air di halaman saja?"
Quin mengerucutkan bibir sekilas. "Baiklah, tunggu di sini."
"Hm, "
"Tapi jangan kemana-mana. Jangan beranjak selangkah pun, tidak, pokoknya kau jangan bergerak sedikitpun!" peringat Quin sebelum memasuki kamar mandi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Summer On You [END]
Storie d'amoreBagi Ohana, kehidupan yang ia miliki sudah sempurna, memiliki pekerjaan menarik, dan keluarga yang bangga untuknya. Namun tidak berlangsung lama saat di masa muda ia terjebak akan masalah, dan masa lalu yang terus menghantui, hingga kehidupan yang i...