SOY [Epilog]

84 4 0
                                        

Bunyi kendaraan dari arah luar terdengar memasuki pekarangan. Kendaraan itu terasa familiar, dan akhirnya berhenti tepat di depan pintu masuk kediaman.

Bryan dan Quin yang tengah memasang pajangan memperhatikan, lalu keduanya saling berpandangan dengan dahi mengerut.

"Kau tahu siapa yang datang?"

"Itu Aunty," jawab Bryan yakin.

Kali ini tak lagi hanya berdua, ucapan Bryan justru menarik atensi Caden yang awalnya tak tertarik pada siapa pun yang tiba. Pekerjaannya yang tengah memasang bola lampu ia hentikan, ia memberi seluruh atensinya, dan netra Caden menangkap siluet wanita di balik kaca hitam itu. Caden tentu mengenali mobilnya yakni milik seorang wanita yang beberapa waktu lalu ia beri janji setia.

"Jangan kemana-mana, kalian tetap di sini," serunya cepat.

Segera menurunkan tubuhnya dari tangga, Caden bergegas berjalan menuju arah depan, senyumannya sekilas terbit, karena ingin menyambut wanita itu di rumah ini. Meskipun dalam pikiran bertanya-tanya bagaimana Ohana bisa mengetahui lokasi keberadaannya?  Namun rasa ragu dan khawatir menyatu kala sosok itu keluar dari mobilnya. Raut wajah Ohana seakan ingin membunuhnya.

"Ohana...Kau ada di sini—"

Plak!!

Tamparan keras sudah melayang di pipi Caden.

***

Hembusan napas kasarnya memburu. Tubuhnya seakan ingin menumpahkan kekesalan tependam secara lantang. Dan rasanya Ohana ingin berteriak atau menampar lelaki itu berkali lagi.

Hah... Ia akui, Caden Orlando selalu membuatnya ingin memaki! Dan menghadapi lelaki ini selalu membuatnya kehilangan akal. Tiga belas tahun penantian rupanya tak membuat Ohana terbiasa akan tingkah Caden, lelaki itu selalu saja membuatnya terkejut.

"Apa aku harus menunggumu tiga belas tahun lagi?"

Rasanya ia ingin mengais sisa sisa kewarasannya. Namun yang tubuhnya lakukan yakni menumpahkan air matanya saat itu juga.

Getar dari suaranya yang serak, hingga netra yang berusaha agar tak terus membanjiri wajahnya. Padahal Ohana ingin sekali mencerca lelaki itu dengan kata-kata yang tajam.

"Jadi kau ingin aku menunggu lagi? Kau bilang hanya pergi sebentar, tapi apa ini?!" Tangannya terkepal kuat, buku buku jarinya memutih. Ohana ingin mendapatkan jawaban namun rasanya ia juga takut akan balasannya. Ia sangat takut Caden berkata tak sesuai keinginannya. Perasaannya berat seketika itu juga.

"Jangan katakan, kau ingin mengingkari janjimu lagi," air matanya pun luruh. "Jangan mempermainkan hatiku lagi, Caden... "

"Tidak, Sergeant... " Caden merasakan pipinya memanas. Wajahnya yang tadi terlempar ke samping kini menatap Ohana lurus. "Ayo, mari kita masuk dulu... " ujarnya meraih lengan itu.

Ohana untungnya tak menolak sentuhan, Caden membawanya ke teras lalu memasuki kediaman. Rumah yang dua hari lalu sangat berantakan dan tua, kini telah menjelma menjadi hunian yang layak dan indah. Wallpaper dinding telah berganti, lampu yang padam telah diperbaharui, dan wangi cat merasuk ke penciuman ketika mendekatinya.

"Aku tidak menghilang lagi, aku hanya ke rumah kakakku..."

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Caden mengedik. "Hanya memperbaikinya."

Kening Ohana berkerut dalam. Senyum Caden lantas melembut. Caden membawa Ohana untuk duduk di kursi panjang terdekat.

Ohana yang duduk. Sedang Caden berlutut. Dan kedua tangan wanitanya ia genggam dengan hangat.

"Baiklah, mungkin, kau sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku, dan siapa sebenarnya aku ini... " Pembicaraan mulai serius, Caden menatap manik hazel itu. "Dan sejujurnya aku tidak ingin menampilkan sisiku yang buruk lagi padamu, tapi, aku juga harus menyelesaikan masa laluku dulu."

Tertunduk lesu, Caden menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan panjang. "Maaf..." serunya pelan.

"Maafkan aku, Sergeant... " Pegangan tangannya semakin menegang.

"Selama ini, aku telah banyak berbuat salah. Baik itu padamu, juga pada banyak orang," akunya jujur. "Tragedi yang dulu terjadi di Samola aku turut andil melakukannya. Aku seorang pendosa." Lalu ia menatap Ohana lekat, dengan hati yang terasa berat. "Dan aku tahu, hukuman delapan tahun penjara belum mampu membayar semua dosa dosaku."

Ya, ia sudah dipenjara, tetapi rasanya belum cukup terbayarkan. Banyaknya nyawa melayang akibat ulahnya bahkan setelah Caden mengabdi bertahun-tahun untuk mengobati penduduk di sana, rasanya masih belum cukup membayar dosa dosanya. "Aku, sungguh bersalah padamu, tapi aku juga harus membayar dosa-dosaku, bukan?"

Setelah mendengar pengakuannya, Ohana di tempat hanya terpaku. Ia memang sudah tahu siapa sebenarnya Caden Orlando Eldren itu. Ayahnya telah menceritakan semuanya, Damien juga telah memperingatinya. Dan Ohana yakin orang lain yang tahu, juga akan mengatakan hal sama.

"Benar, kau harus bertanggungjawab," balas Ohana akhirnya mengeluarkan suara dengan tegas. "Kau... Harus membayarnya," serunya menghakimi.

Caden terpaku lalu mengangguk setuju. "Baiklah, aku mengerti, dan aku akan kembali ke Samola untuk membayarnya lagi."

"Jika kau kembali ke sana lalu kapan kau akan bertanggungjawab padaku?" selanya dengan cepat. "Apa fokusmu hanya pada orang-orang itu? Lalu bagaimana denganku?" Ohana mendengus, memalingkan wajahnya. "Apa kau pikir hanya dengan permintaan maaf lalu mudahnya kau meninggalkanku lagi? Ha ha.. jadi janji beberapa hari lalu itu apa, Caden?"

Cercaannya akhirnya terlepas. Wajahnya kembali menatap netra biru cerah yang selalu ia kagumi. Namun terpaksa tangannya yang digenggam meninggalkan sentuhan hangat itu. Ohana menatap lurus Caden, dan kesungguhan di kedua netra hazelnya tak bisa dianggap candaan.

"Jadi kau akan ke Samola dulu baru akan bersamaku?" tanyanya dengan tajam.

Caden balas menatapnya. "Jika menurutmu pengabdianku masih kurang, aku harus menebusnya lagi."

"Bukan aku yang memutuskan hukumanmu pada orang-orang itu, Caden Orlando Eldren... Tapi, urusanku denganmu untuk menagih janji-janjimu itu."

Tatapan keduanya saling bertemu. Keyakinan keduanya dapat dilihat dari kesungguhan masing-masing ucapan.

"Aku ingin mewujudkan angan yang kita bicarakan beberapa hari lalu. Itu yang aku inginkan."

Kesimpulannya, Ohana masih menginginkan hubungan ini terus berlanjut. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu lagi dan tak ingin ada jarak yang memisahkan.

Sementara Caden masih terbesit rasa bersalah. Ia juga harus sadar diri, karena mendapatkan wanita seperti Ohana adalah karunia untuk bajingan pembawa bencana sepertinya. Namun jujur setelah semua yang terjadi, tentu ia juga ingin melepaskan segala beban dan terus melanjutkan hidupnya.

"Jadi, kau masih menginginkanku setelah semua ini?" tanya Caden dengan pendar serius.

Ohana mengangguk pasti. "Aku sangat menyukaimu, dan kau juga sudah berjanji."

"Jadi, pernikahan kita tetap akan dilanjutkan?"

"Harus!"

Caden terpaku sejenak. "Lalu, bagaimana jika aku ingin menebus kesalahanku yang dulu?"

"Kalau kau ingin menebusnya lagi, lakukan setelah pernikahan kita," kedik Ohana ringan.

Senyum lega akhirnya terukir manis. Caden segera menegakkan tubuhnya untuk meraih tubuh wanitanya. Pelukan hangat keduanya bagi, karena berdamai adalah satu-satunya jalan untuk segala masalah ini.

Mari berdamailah dengan masalalu dan kembali fokus menjalani masa depan.

"Terimakasih, Sergeant."

"Aku mencintaimu. Tolong jangan tinggalkan aku lagi..." pinta Ohana dengan tulus.

[End]

***

Summer On You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang