Mereka berdua, Tiara dan Satya, punya sebutan sendiri untuk kedai langganan mereka. KePo. Selain karena bisa dipanjangkan menjadi Kedai Pojok, kedai inilah tempat dimana mereka saling kepo-mengepo sambil tertawa-tawa hangat di malam Minggu. Mengorek-ngorek privasi satu sama lain sampai ke dalam-dalamnya, sampai salah satu dari wajah mereka bersemu merah seperti kepiting rebus.
Biasanya Tiara yang kalah, tapi untung satu rahasia Tiara tidak pernah keceplosan.
Sesampainya di sana, Tiara turun dari motor kesayangan Satya. Wajahnya tidak menunjukkan raut seperti malam-malam sebelumnya. Raut kemenangan dimana dirinya berhasil membujuk papanya agar boleh pergi bersama Satya, tersapu oleh pemandangan wajah datar dan mata sayu. Beda dengan Satya yang walaupun mendapat berita buruk dari ayahnya, tidak menampakkannya seperti Tiara.
"Ngantuk lo? Apa mau balik aja?"
Tiara menoleh pada Satya yang sedang membuka kancing half helmet nya. Bibirnya berkedut kesal pada Satya, tapi satu katapun tidak meluncur dari mulutnya, tidak mulus, bahkan tidak terbata. Lantas, Tiara berpaling, berjalan menyentak masuk ke dalam Kedai Pojok yang ramai dipenuhi anak-anak muda.
"Helm, woy!" teriak Satya. "Kayak iklan aja lo masuk ruangan pake helm."
Satya masih duduk di atas motor saat Tiara berjalan kembali menghampirinya ke lahan parkir sempit. Di depan Satya, Tiara berdiri tegap sambil mengangkat tinggi-tinggi dagunya. Meminta Satya untuk membukakan kancing helm tiga perempat milik Satya yang dipinjamnya. Satya memutar bola mata malas, ikut berdiri di depan Tiara. Lalu, Satya membukakan kancing helm yang dipakai Tiara, dan menarik lepas helm itu dari kepala.
Tiara hanya setinggi hidungnya. Dari jarak sedekat ini, Satya bisa melihat jelas bagaimana penampakan wajah sahabatnya. Saat ini Tiara, di mata Satya terlihat mengerikan. Matanya tidak lagi berkilat ceria seperti biasanya, melainkan sendu. Bibirnya tidak memamerkan gigi, melainkan bibir yang tertutup rapat dan menekuk ke bawah.
"Ngeri lo, kayak setan kalo gitu." Satya melirik pakaian yang dikenakan Tiara. "Pake baju putih sepaha lagi."
"Emang!" balas Tiara ketus.
"Mana ada kuntilanak pake celana kolor gitu?"
"Gue kan kuntilanak modern, jadinya ya begini!" Tiara menjawab sambil menyepol asal rambutnya.
"Lo kenapa, sih, Ra?"
Satya kembali duduk di jok motornya, kali ini menyamping sambil mengamat-amati Tiara. Tiara menatap Satya masih dengan wajah kecutnya.
Di bawah remang-remang cahaya parkir kedai, Satya, di mata Tiara terlihat lebih tampan. Matanya tetap hitam dan tajam, mata yang mampu membuat Tiara K-O. Bibir yang sering berkata ketus dan pedas, tapi juga sering menyenandungkan tawa saat mereka bercanda.
Tiara memang masih labil, tapi dirinya benar-benar merasa suka pada sahabatnya itu.
"Tiara?"
Saat Satya memanggil namanya, kepalanya tertunduk. Berulang kali mulutnya mengempaskan napas panjang yang terdengar seperti keluhan tanpa kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Late Night Stuffs
Teen FictionBiar aku ceritakan. Tentang tengah malam yang terlalu bengis untuk membuat pudar, namun menghentikan keluhan dunia tentang siang dimana semua masalah seakan menjajah hari. Juga kisah tentang bintang terpecah yang terlalu redup bagi bulan, dan mataha...