Bintang di langit tetap sedikit meski waktu menginjak pukul sebelas. Tiara masih betah memandang ke atas di balkon kamar Darren, sambil menunggu Darren pulang juga. Malam cukup dingin, semilir angin menyela lewat celah jaket. Dengan begitu, Tiara merapatkan jaket cokelat milik Satya.
Aromanya sudah tidak apek seperti pertama kali Tiara memakai. Sudah dicuci bersih meski wangi parfum masih menempel sedikit. Sebenarnya Tiara tidak ingin mencuci, ingin terus menghirup aroma jaket Satya, tapi, ah, nanti jamuran, rusak dan malah tidak bisa dipakai Tiara lagi. Jadi, dengan terpaksa dicuci.
Tiara kepikiran Satya lagi setelah beberapa menit lalu bernyanyi-nyanyi kecil. Tiara menghela napas, tapi senyumnya terkembang sedikit mengingat cerita Wijaya tadi. Satya cemburu.
Tiara terkekeh, kemudian di detik selanjutnya ia terdiam mengingat Satya di sekolah tadi. Cowok itu berangkat sekolah tanpa memberinya kabar. Tiara berpapasan dengan Satya di depan kelasnya Joni. Satya sedang cengengesan tidak jelas bersama empat lainnya, ia sempat melirik Tiara lantas cengengesan lagi padahal sebelumnya sudah dikecengin sama yang lain.
Tidak menyapa balik padahal Tiara menyapa. Padahal Tiara sudah sangat ingin memuntir lengan cowok itu sambil mendesis kenapa Satya tidak memberi kabar. Mungkin benar apa yang disampaikan Wijaya padanya tadi, bahwa Satya cemburu.
Tapi, cemburu untuk apa? Cemburu yang Satya ungkapkan saat mati lampu malam itu, atau ada cemburu lain?
Tiara tidak sempat lagi berpikir lama-lama karena suara mobil masuk ke pekarangan rumahnya. Tiara melongok ke bawah. Benar dugaan Tiara, Darren keluar dari mobil membawa kantung plastik besar berisi belanjaan.
Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya Darren membuka pintu kamar. Melihat dari pintu kaca geser balkon yang transparan, kedua tangan Tiara mengatup di depan mulut karena kaget melihat kondisi Darren. Darren diam mematung memandang Tiara yang segera menyusulnya.
"Your face ...."
"That is fine."
Mata Tiara berair melihat Darren memiliki lingkaran biru keunguan di mata kirinya, bibir bawahnya robek kecil, juga ada dua plester menempel di wajahnya. Darren meringis saat Tiara menaikkan dagu Darren, meneliti lebih jelas.
"Kamu darimana, kok, bisa gini?"
Darren menghela napas, lalu dengan lembut ia menarik tangan Tiara untuk duduk bersamanya di tempat tidur. Darren menunjukkan senyum rangup pada Tiara, menyebabkan deru napas Tiara berserakan khawatir.
"Saya tadi bertemu Satya."
Tiara diam menunggu kelanjutan kalimat Darren, tapi bahkan sampai satu menit berlalu, Darren hanya memandang Tiara tanpa meneruskan kalimatnya.
Darren dalam keterdiaman suka sekali memandang wajah Tiara yang tidak pernah membosankan, yang selalu ia rindukan selama di negeri orang, yang ditunggu kapan ia bisa melihat wajah Tiara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Late Night Stuffs
Teen FictionBiar aku ceritakan. Tentang tengah malam yang terlalu bengis untuk membuat pudar, namun menghentikan keluhan dunia tentang siang dimana semua masalah seakan menjajah hari. Juga kisah tentang bintang terpecah yang terlalu redup bagi bulan, dan mataha...