Saat apoteker rumah sakit menyebutkan nama Satya, cowok itu segera berdiri untuk menerima obat dengan senyum kecil terpasang. Frans yang mengantarnya sedang menemui dokter lain sambil bercakap-cakap, sebelum akhirnya diajak untuk mengecek kondisi pasien lain. Jadi, Satya harus pulang naik taksi.
Begitu ia keluar rumah sakit, sebuah mobil baru saja berhenti di pelataran parkir. Seseorang yang Satya hapal sekali wajahnya keluar, segera berlari menghampiri Satya. Ia benar-benar kaget ayahnya bisa ada disini.
Dengan getirnya Lukas berujar, "pasti lukanya parah."
Satya hanya mengerjap. Dadanya terasa bergemerincing melihat ayahnya yang khawatir.
"Apa kata dokter tadi, Nak? Kamu tidak perlu operasi atau opname, kan?" Lukas mengamati wajah Satya sambil meringis, matanya berair melihat kondisi anaknya. "Tadi Pak Frans menelepon Ayah. Jadi, Ayah cepat-cepat kemari."
Satya tetap bergeming bahkan sampai Lukas menyuruh Satya segera masuk mobil. Lukas tidak kunjung menyalakan mesin mobil. Namun, ia menatap anaknya lekat-lekat yang sedari tadi memandangnya.
"Kenapa melihat ayah terus begitu?"
Satya masih mengamati ayahnya dalam kebisuan. Masih kaget sendiri karena ayahnya ada disini, bukannya di kantor.
"Bibir kamu sakit sampai kesulitan bicara?"
Satya menggeleng lantas berkata pelan tanpa membentak, "motor Satya di rumah Fando, Yah."
Lukas menghela napas. "Urusan gampang itu, yang penting kamu pulang dulu. Setelah ini ayah masak untuk kamu. Kamu makan yang banyak nanti di rumah, ini sudah hampir petang."
Mata Satya berkaca melihat ayahnya. Ada perasaan yang membuat Satya menyesali semua apa yang sudah ia lakukan pada Lukas, termasuk kebenciannya yang mengakar. Yang sudah Satya cabut seakar-akarnya.
"Kamu kenapa berantem?"
Satya diam, kali ini menunduk.
"Kamu sudah besar, seharusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah." Lukas memegang bahu Satya. "Ayah memang kasar, tapi ayah tidak mau kamu mengikuti hal yang salah dari ayah."
Satya menelan ludah pahit. Lukas benar. Satya selalu menyalahkan Lukas atas apa yang menimpa dirinya, padahal sebenarnya yang salah adalah dirinya sendiri. Harusnya ia paham betul kondisi ayahnya saat itu, harusnya ia tahu sikap yang harus ia tunjukkan dan yang harus ia pelajari. Bukan malah mengambil hal-hal buruk yang terjadi padanya.
"Kamu kenapa berantem?" ulang Lukas.
Satya masih saja diam, matanya melirik tangan Lukas di bahunya.
"Kamu masih tidak mau membicarakannya?"
Semburat merah menghiasi langit, terlihat dari jendela mobil. Awan menggantung, memberi biasan merah keoranyean. Ayahnya lagi-lagi melirih bersama permohonan dan ungkapan yang saat ini Satya sukai suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Late Night Stuffs
Teen FictionBiar aku ceritakan. Tentang tengah malam yang terlalu bengis untuk membuat pudar, namun menghentikan keluhan dunia tentang siang dimana semua masalah seakan menjajah hari. Juga kisah tentang bintang terpecah yang terlalu redup bagi bulan, dan mataha...