Eighteenth Stuff

36 3 0
                                    

"Sialan!" runtuk Satya.

Melewati malam Minggu yang beberapa kali absen setelah kehadiran Darren dalam hubungan dua sejoli, Tiara kembali absen. Satya marah sekaligus kangen berat. Tadi, dengan keberanian dan kepercayaan diri penuh, Satya melakukan panggilan video call dengan Tiara.

Percaya diri Satya makin naik saat Tiara bersedia mengangkat, tapi segera saja kepercayaan dirinya menguap habis secara cepat saat Tiara berkata bahwa ia harus pergi dengan seseorang yang sudah dijodohkan dengannya.

Satya memencet joy stick dengan luapan emosi. Pemain yang tertera di layar bergerak lincah, lompat sana-sini, tapi tidak berhasil mengenai lawan, kemudian kalah terserang musuh yang melintas. Ia tidak bisa konsentrasi dengan permainan yang biasa ia menangkan dengan mudah. Ini jam sepuluh malam, padahal sudah tiga jam lalu mereka vidcall, tapi Satya masih marah dan badmood.

Satya mengeluh, membiarkan layar televisi di depannya menyala. Di lantai kosong nan dingin, Satya merebahkan tubuhnya. Ia mengambil ponsel di sisi kanannya lalu mencabut plug headphone dari layar televisi ke ponselnya. Mp3 player yang menyalurkan musik ke headphone tersetel secara acak. Matanya melihat keluar jendela yang kosong.

Sekarang Satya ada di luar jangkauan. Untuk keluar bersama makin susah. Dulu Wijaya, sekarang ditambah Darren yang mempersulit. Satya sudah tidak merasakan ada seseorang yang duduk di jok belakang motornya. Seseorang yang selalu nebeng bernama Tiara itu selalu diantar jemput Darren. Terakhir kali boncengan dengannya saat mengantar Tiara ke sekolah selepas ia melarang jatuh cinta. Lagi, sudah tidak ada yang menyelinap ke dalam kamarnya saat tengah malam.

Semua berubah. Satu bulan lamanya ia tanpa Tiara setelah insiden live music di café milik Edgar, yang sudah jelas milik Darren juga.

Mereka sudah tidak bisa duduk di kantin untuk makan gorengan atau makanan ringan, atau minum es teh bersama sambil membicarakan banyak hal dari Sabang sampai Merauke. Satya tidak mampu sekedar membiarkan Tiara berbicara sepatah kata padanya dan ia memandang kangen pada Tiara.

Sebulan penuh, isinya hanya galau berkepanjangan.

Satya sempat datang ke rumah Tiara secara blak-blakan, bertemu Wijaya dan berakhir di marahi. Besoknya ia bertemu Ayu dan mengatakan Tiara tidak di rumah. Besoknya lagi, rumah Tiara kosong melompong tidak ada orang. Besok, besok, dan besoknya, Tiara selalu saja pergi bersama Darren.

Darren pasti menyadari kalau Tiara marah berat pada Satya yang sedang galau ini. Maka dari itu, Darren sengaja menjauhkan Tiara darinya dan Tiara menerima berlapang dada atas tindakan cowok keturunan bule itu.

Dengan segala ketidaktahuan dan tanpa pesan yang dibalas-setidaknya sampai video call Satya tiga jam lalu diangkat-terpaksa Satya menghabiskan hari-harinya dengan mengurung diri di kamar bermain game dan bermain gitar sambil menyanyi tidak jelas. Kalau tidak, ya main PS bersama Garuda dan Fando atau membuka sosial media. Dibumbui rasa kangen yang tidak ia sadari sejak kapan terjadi.

Satya tidak tahu kangen ke Tiara bisa separah ini. Hampir tiap malam, ia memandangi foto-foto bersama Tiara di ponselnya. Tertawa-tawa melihat foto zaman kelas satu SMA Tiara yang alay dengan pose sok imut berbandana ikat di rambut. Ini bukan malam pertama saat Satya kembali mengingat kebersamaan bersama Tiara di awal kenal.

"Lo udah sembuh?"

Satya mendongak, mengunyah bakso secara lamat sambil mengamati Tiara. Tiara mengulum bibir grogi melihat Satya yang baru berangkat sekolah setelah satu minggu diskors.

"Kayaknya belum," balas Satya usai menelan kunyahannya. Jari telunjuknya menunjuk pipi yang ditempel kain kasa dan bibir yang luka.

Tiara mengernyit, menempatkan diri duduk di samping Satya yang kosong. "Ini kan udah seminggu, masak belum kering juga?"

Late Night StuffsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang