Satya memencet bel rumah di kawasan Solo di hadapannya berulang kali, tapi tidak juga ada jawaban. Lalu Satya mengetuk, memencet bel rumah lagi, lalu mengetuk lagi, berulang-ulang selama kurang lebih lima menit. Satya menangkap langit berubah gelap. Hingga seseorang membukakan pintu rumah bersama senyuman lebar. Satya sudah lama tidak melihat wajah yang mirip dengan wajahnya itu. Wajah perempuan itu terlihat lebih tua, tapi lebih segar dari terakhir Satya lihat. Seperti beban yang selama ini dipikul sudah diangkat.
"Ya ampun, ibu rindu kamu, Satya!" Ibunya, Inggit, memeluk Satya erat. "Badan kamu hangat, kamu sakit?"
"Kecapekan mungkin, Bu." Satya dan Inggit melepas pelukan.
Inggit tersenyum lembut. "Tapi masih kuat kalau menemani ibu belanja?"
Satya terkekeh, lalu mengangguk kecil.
"Tadi ibu menelepon Lukas. Benar kata dia, kamu makin ganteng. Anak ibu makin ganteng!"
"Nelepon ayah? Ngap—"
"Sayang, itu siapa?" seseorang bertanya dari belakang Inggit, memotong Satya. Lalu orang itu menampakkan diri di depan Satya. Satya menahan dengusannya.
"Lho, Satya, ayo masuk!"
Satya menatap laki-laki di depannya yang tersenyum. Saat itu, saat Satya tahu ibunya akan menikah, laki-laki di depannya melarang keras dirinya untuk tinggal bersama. Dan saat itu juga, Inggit ikut menyetujui tanpa alasan yang harus Satya dengar kenapa. Satya kemudian menghela napas lelah.
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Satya di single sofa, Inggit bersama suami barunya, Adi, duduk berdampingan di long sofa. Kedua tangan Inggit menggelayut di lengan Adi dengan mesra. Yang sedikit menyakitkan matanya melihat ibunya bermesraan dengan orang yang bukan ayahnya di depan anaknya. Maka, Satya hanya memberikan senyum palsu yang sangat terpaksa.
"Kamu libur?" tanya Adi.
Satya menggeleng. "Izin, Om."
"Panggil ayah saja, Sat." cetus Inggit. Satya meringis mendengar 'panggil ayah' dan 'Sat'.
"Panggil Ya aja, Bu."
Wajah Inggit berubah tidak enak hati, lantas menoleh pada Adi yang tersenyum juga tidak enak hati. Ia lupa masalah itu. Trauma dikatai ayahnya sendiri. Meski begitu, Lukas tidak tahu menahu soal sebutan itu karena Satya tidak pernah bercerita.
"Kamu mau menginap berapa hari?" pecah Adi.
"Ya pokoknya Jumat pagi pulang, Om."
"Ya ampun, panggil ayah, Satya."
Adi mengusap lengan Inggit. "Sabar, Sayang, tidak usah diburu-buru."
Lalu mereka bercakap sebentar. Setelah itu, Satya masuk ke kamar yang biasa ia gunakan saat melawat ibunya. Usai meletakkan tasnya di lantai, tubuhnya ia baringkan. Penat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Late Night Stuffs
Teen FictionBiar aku ceritakan. Tentang tengah malam yang terlalu bengis untuk membuat pudar, namun menghentikan keluhan dunia tentang siang dimana semua masalah seakan menjajah hari. Juga kisah tentang bintang terpecah yang terlalu redup bagi bulan, dan mataha...