31. Interface

222 40 6
                                    

Dari terus berusaha memfokuskan pikiran pada penulisan skrip drama di laptopnya, Jisoo menyerah dengan memejam menyangga dahi.

Gerakan tangan bergetar Jennie dari mendorong mulut botol ke bibirnya terhenti ketika bayangan seseorang mendekat. Jennie menutup dan memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menoleh menarik tangan dari siapa pun yang mencoba menahan kepergiannya berlanjut.

"Jennie-ya ...." Tak membuang waktu Jisoo mempercepat langkah untuk kembali memegang lengannya.

Hanya memperlihatkan punggungnya untuk Jisoo, gigi Jennie menggertak, tak tersirat kelembutan apa pun dalam matanya.

"Aku tidak ingin melihatmu."

Jisoo menggenggam lebih kuat. "Kau sangat ingin melihatku. Kau merindukanku, seperti aku merindukanmu."

Jennie membuang nafas bersama tawa pendek tanpa suara. Menarik lengannya dari genggaman Jisoo.

"Kau tidak boleh mengatakan kalau kau merindukanku." Jennie terbungkam dalam tatapannya yang hampir menguraikan air mata selama menatap wajah Jisoo. "Kau tidak berhak berkata begitu. Kau yang meninggalkanku. Sebelum melakukan itu, kau seharusnya berpikir ribuan kali ... seperti aku memikirkanmu setiap hari. Sebelum mengatakan itu, kau seharusnya melalui hari-harimu yang kosong tanpa bisa melihat kebahagiaan. Sebelum kau memutuskan memegang tanganku, kau seharusnya terus-menerus berpikir apa kesalahan yang mungkin kau lakukan sehingga kau berhak menerima semua rasa kesepian yang kau rasakan." Bibir Jennie bergetar mengatup rapat, melarang keras tangisnya pecah. "Kau membunuhku, Hwang Jisoo. Dengan sangat perlahan dan menyakitkan."

Pegangan Jisoo terlepas, tersenyum tanpa arti. "Kau yakin tidak melebih-lebihkannya? Kurasa kita sudah tidak sedekat itu. Kenapa kau masih mengharapkan aku selalu ada untukmu? Kita hanya dua orang yang terikat karena dilahirkan oleh orang tua yang sama, kita bukan siapa-siapa selain karena itu, bukankah kau menganggapnya begitu?"

Jennie tersenyum getir menatap tak percaya padanya. "Aku? Aku yang menganggap begitu?" Jennie meremat kerah blazer-nya sendiri.

"Kau bersama Bobby hari itu."

Air mata Jennie jatuh bersamaan dengan dia mendongak pada wajah Jisoo. Jennie mendorong dada Jisoo dengan menggenggam pakaiannya.

"Kau menyalahkan Bobby? Masalahnya ada padamu, Jisoo-ya. Kau hanya tidak pernah benar-benar cukup peduli. Semua keputusanmu, hanya tentang dirimu dan untuk dirimu. Bobby hanya alasan akal-akalanmu, sebenarnya kau tidak mau lagi menganggapku kembaranmu, kau hanya ingin kelihatan peduli, dan berhenti peduli ketika kau merasa cukup dan tidak membutuhkanku lagi, bahkan satu kali panggilan telepon saja sangat sulit bagimu. Berapa kali aku berusaha menghubungimu waktu itu? Apa kau ingat berapa kali kau mengabaikannya? Bukan hanya empat hari, Jisoo-ya, empat tahun kau tidak melihatku tapi kau semakin bahagia."

"Jennie-ya, kau tidak boleh memutarbalikkannya seperti itu, seolah kesalahan hanya ada padaku. Apa yang tidak kulakukan untukmu? Aku melakukan semuanya. Aku bertahan di rumah yang seperti neraka itu sangat lama hanya untukmu. Aku tersenyum untukmu ketika itu sangat menyakitkan bagiku. Aku berusaha menghiburmu kapan pun kau membutuhkannya. Aku masih datang padamu meskipun seperti Chaeyoung dan Lisa kau menyalahkan keputusanku waktu itu. Aku menelan ludahku sendiri dan pulang ke rumah untuk melihat keadaanmu."

Jisoo menarik nafas untuk menyurutkan getaran dalam suaranya. "Sangat sulit, Jennie-ya. Sangat sulit menahan rasa sakit sendirian sementara terus berusaha membahagiakan orang lain. Tapi ... aku bisa melakukan apa pun untukmu. Apa pun. Karena sama sepertimu aku juga merasakan kesendirian meskipun keluarga kita kelihatan lengkap. Tapi, hari itu kau sengaja memanggilku ke taman untuk memperlihatkan padaku kalau aku tidak ada artinya bagimu. Kau sangat bisa hidup tanpaku. Aku hanya menuruti permintaan yang tercermin dalam sikapmu."

Mata Jisoo menyala semakin tajam. "Saat itu aku memang berdoa dan bersumpah. Aku bersumpah tidak akan pernah menemuimu, kecuali kau yang memohon padaku. Kau harus memohon padaku. Suatu hari kau harus menangis dan datang padaku, kau harus sadar, tidak ada yang peduli padamu melebihi diriku."

"Kenapa sekali saja kau tidak bertanya padaku? Kau harus bertanya. Seharusnya kau bertanya padaku. Kau harus bertanya, Jisoo-ya. Seharusnya kau datang di antara kami." Telapak tangan Jennie menekan menutupi matanya. "Kau bisa langsung marah padaku. Bisa saja ... bisa saja itu tidak seperti yang kau lihat. Mungkin saja ... aku tidak sejahat yang kau pikirkan."

Sorot mata Jisoo melebar, menggeleng berulang-ulang pada Jennie. "Perkiraanku waktu itu tidak salah sama sekali. Perkiraanku waktu itu memang benar."

Dari Jennie, pandangan Jisoo tenggelam pada lantai di lorong itu, buram dalam linangan. "Aku harus benar." Wajah Jisoo terangkat kembali pada Jennie. "Kau yang salah."

Jennie mengangguk, sebelum meninggalkannya.

Jisoo membuka pintu apartemennya. Menemukan bibinya di sana. Mereka duduk di ruang tamu, dengan Jisoo yang sengaja menunjukkan wajah lesu.

"Apa yang kau katakan pada Jennie? Kenapa Imo tidak melihatnya di sini?"

Jisoo mendesah, menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangan dengan siku bertumpu di paha. "Kenapa Imo tidak memberitahuku dulu?"

"Imo juga tidak memberitahu Jennie dulu." Hyunjin menatap penasaran pada Jisoo. "Lagi pula, apa itu akan membawa perbedaan?"

Jisoo menunjukkan seluruh wajahnya yang masam, sementara mendorong dirinya berbaring ke pangkuan sofa.

"Kalian sebenarnya mirip sekali." Hyunjin menjauhi sofa mengambil sekaleng bir di kulkas.

Beberapa saat kemudian, Jisoo melengos ketika bibinya menyodorkan bir yang sudah terbuka di depan wajahnya. "Sudah kubilang aku tidak minum yang seperti itu, Imo. Itu buat Seulgi."

"Tapi, tetap ada perbedaan di antara kalian berdua." Hyunjin menaruh bir itu di bagian meja yang cukup dekat di depan Jisoo, lalu duduk di seberangnya. "Kau yang paling tau, di depan orang lain, kelihatannya Jennie tidak ingin disentuh sama sekali. Tapi sebenarnya dia tidak begitu, kan? Saat bertemu dengannya tadi, apa kau sudah dianggap orang lain?"

Jisoo terdiam. Mengingat kembali bagaimana Jennie pergi tanpa membela diri.

"Jisoo-ya, meski kau dan Jennie lahir di hari yang sama, Jennie berbeda denganmu. Jennie ... kadang masih tidak dewasa. Meski kelihatan begitu membencinya, sebenarnya Jennie sangat mencari kasih sayang. Dia terpuruk ketika merasa tidak ada lagi orang yang cukup peduli padanya, kasih sayang adalah bahan bakar hidupnya. Imo minta, kau mau menjadi bahan bakar itu. Imo sangat khawatir padanya."

Mata Jisoo tertarik sepenuhnya pada Hyunjin. "Ada apa dengannya, Imo?"

"Jennie selalu minum-minum. Dalam sehari, mungkin hanya hitungan menit dia pernah benar-benar sadar."

"Dia minum-minum?" Punggung Jisoo berdiri lebih tegak. "Dia terus melakukannya? Apa yang dia pikirkan, Imo? Dia tidak pernah bisa melakukan apa pun dengan benar saat sendirian."

"Itulah, kenapa kalian tidak pernah saling bertemu? Mengalahlah sedikit, Jisoo-ya."

Jisoo beranjak mengambil blazer di coat stand. "Apa dia di apartemennya, Imo?"

"Imo tidak yakin dia sudah pulang, tapi dia juga tidak ada di kantor. Imo berusaha menghubunginya, tapi ditolak. Dia menyuruh asistennya pulang, entah di mana dia sekarang."

Ini bukan versi revisi lagi, tapi remake😐 beberapa akan berubah cukup jauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini bukan versi revisi lagi, tapi remake😐 beberapa akan berubah cukup jauh

TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang