Hembusan berat nafas Jisoo menarik perhatian Seulgi.
"Ayahmu ada di rumah?"
Kedua alis Jisoo terangkat singkat. "Itu mobilnya, tapi di jam begini biasanya sedang di ruang kerja."
Seulgi terus menatap Jisoo. Sengaja dia lakukan untuk menarik perhatiannya. "Kelihatannya sekarang kau jadi begitu ingin masuk."
Dari membalas tatapan Seulgi, Jisoo menunduk memperhatikan salep dalam genggaman tangannya.
Jisoo mengedikkan bahu dengan lemah. "Salep di kamar cuma tinggal sedikit."
Tatapan Seulgi menyendu, serta hatinya menghangat. "Maka, masuklah. Aku akan menunggu kalau mungkin kau ingin kembali ke apartemenmu yang sepi."
"Tunggu di sini." Jisoo turun dari mobil Seulgi, namun kemudian berbalik. "Terima kasih."
Seulgi memajukan bibir bawahnya sampai menjawab, "Sudah masuk sana."
Jisoo lanjut melangkah. Ini sudah sangat lewat dari jam makan malam. Sejauh perkiraan Jisoo, seharusnya tidak akan ada anggota keluarga yang mendadak muncul berpapasan dengannya dalam perjalanan menuju kamar untuk menemui Jennie.
"Nona Jisoo ...."
Jisoo tersenyum pada seorang maid yang mendekatinya.
"Makan malam sudah lewat, Anda ingin makan sesuatu? N-nyonya Dara harus tau, kalau Anda sudah pulang."
"Ahjumma ...." Jisoo buru-buru menghentikan. "Jangan beritahu Eomma. Aku hanya berkunjung saja. Jennie di atas?" Jisoo sudah mendapat anggukan, namun masih menunggu sebab raut iba seseorang di depannya seolah berniat menyampaikan belasungkawa.
"Nona Jennie ... memang masih sering keluar dari kamarnya. Namun, hanya untuk makan atau berangkat kuliah. Selebihnya, Nona Jennie hanya mengurung diri di kamar."
Jisoo mengangguk benar-benar memahaminya. Itu juga sebuah tekad untuk membuat Jennie benar-benar paham situasinya.
Di depan pintu kamar Jennie, Jisoo hanya berdiri, beberapa saat. Dia sendiri tidak tahu apa yang dia tunggu.
Jisoo mengetuk pintu sebentar, berakhir dengan membuka pintu itu. Dia melihat saat-saat akhir pergerakan Jennie di ranjang, sepertinya sengaja menghindari siapa pun yang datang.
Jisoo menutup pintu, mendekat dengan tenang. Beberapa saat selanjutnya yang berlalu, Jisoo hanya berdiri di samping ranjang, menatap punggung Jennie.
"Ini aku."
Di balik punggung itu, Jennie mungkin tersenyum setengah, namun senyum itu hanya bersirat luka.
Jennie tidak membuat gerakan apa pun, setia pada posisinya.
"Jendeukie ...."
Jennie muak mendengarnya. Detik itu juga sadar dia memang tidak bisa terlalu lama menahan diri. Dia tidak tahan dengan keegoisan Jisoo. Tidak terima sama sekali ketika dikesampingkan atau bahkan seakan dibuang begitu saja oleh Jisoo.
Jisoo menyentuh lembut pundaknya. Balasannya tetap sama, Jennie mendiamkannya.
Jisoo rasa perlakuan lembut ini tidak akan berhasil. Jadi dia berdiri setegas suaranya yang akan keluar, tanpa ada kontak fisik lagi dengan Jennie.
"Jennie-ya, aku datang untuk mengobati lukamu."
Jennie meremas selimutnya. Membuang itu dari menutupi tubuhnya. Dia tidak segan berdiri, memepet berseberangan dengan Jisoo.
Mata menyengat Jennie mengatakan banyak hal. Ketika menatapnya, Jennie tidak bisa membencinya. Dia ingin membalas ucapan sengit Jisoo tempo lalu dengan rasa sakit yang sama, namun detik itu Jennie hanya ingin memohon.

KAMU SEDANG MEMBACA
Twins
Fanfic[REMAKE VERSION] Pasti akan ada satu titik di mana kita semua dipaksa bersatu, benar-benar bersatu.